Dalam idealitas hukum Islam, yang haram tetap haram. Tidak ada perdebatan dalam larangan minum khamr, berjudi, riba, dan seluruh cabang-cabangnya. Namun dalam kenyataan sosial, umat sering kali tidak hidup di dalam sistem yang murni syariah. Mereka hidup di tengah arus kapitalisme, sekularisme, dan tekanan ekonomi yang menjerat.
Maka muncullah pertanyaan yang mengguncang: "Kalau kerja di pabrik arak, halal atau haram?" "Kalau dia baru masuk Islam, bagaimana nasib hidupnya?"
🧭 PENGANTAR
Jawabannya memang jelas secara nash: “Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, Shahih)
Namun persoalan sebenarnya tidak berhenti pada “apakah itu haram?”. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah:
🔍 Bagaimana cara membimbing manusia keluar dari lingkaran keharaman?
🔍 Apa sikap syariat terhadap orang yang belum mampu keluar, bukan karena membangkang, tapi karena belum sanggup?
Di sinilah agama yang raḥmatan lil-‘ālamīn menunjukkan wajah sejatinya: bukan agama kaku yang menafikan kondisi manusia, tetapi agama yang punya prinsip, sekaligus keluasan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam implementasi. Sayangnya, di era modern ini kita menyaksikan fenomena memilukan: Banyak yang baru hafal satu dua dalil, sudah berani duduk di kursi fatwa. Banyak yang fasih menyebut “ini haram!”, tapi gagap ketika ditanya: “Lalu apa solusinya?”
⚠️ Mereka menempatkan hukum fiqh pada tempat taḥkīm, tapi melupakan maqāṣid, ḥāl, dan fiqh al-wāqi’.
⚠️ Mereka menyangka agama cukup ditegakkan dengan ucapan keras, padahal agama tidak dibangun hanya dari hukum, tetapi juga dari hikmah, maqāṣid, dan pengetahuan tentang manusia.
📛 Mereka tahu kaidah, tapi lupa proporsinya.
📛 Mereka cepat menyatakan haram, tapi lalai memikirkan taṭbīq (implementasi syar’i) sesuai qawā’id ushuliyyah dan kaidah maslahat-dharurat.
Tadzkirah ini menyuguhkan analisis tajam:
🔍 Antara keharaman yang qaṭ’ī, dengan realitas sosial yang darurat.
🔍 Antara fatwa dan fiqh al-wāqi’.
🔍 Antara menjauhi dosa, dan menjerumuskan manusia dalam keputusasaan.
Dan ini bukan soal toleransi terhadap maksiat.
💥 Ini soal bagaimana agama membimbing manusia keluar dari keburukan, bukan mendorong mereka ke jurang karena tekanan yang tidak mereka mampu hadapi.
🧠 Inilah pentingnya fiqh al-tadarruj (fikih bertahap) dan fiqh al-ma’ālī (fikih tujuan jangka panjang) — agar kita tidak menjadikan agama sebagai alat penghakiman, tetapi sebagai petunjuk keselamatan.
❝Fatwa itu bukan tempat menumpahkan ego dan hafalan. Fatwa adalah amanah besar yang menimbang hukum syar’i dengan kondisi riil masyarakat.❞
📚 Rangkuman Faedah
1️⃣ Hukum Bekerja di Sektor Haram: Qath’i & Jelas
Bekerja di tempat produksi arak, judi, dan riba adalah ḥarām li-‘aynihi — haram pada zatnya. Ini termasuk musā‘adah ‘ala al-ma‘ṣiyah (membantu dalam maksiat) yang dilarang secara tegas:
❝وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ❞
"Dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran."
(QS. Al-Mā’idah: 2)
Dalilnya jelas dari Al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya:
❝مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ❞
“Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun haram.”
(HR. Abu Dawud, Shahih)
Namun ushūl fiqh menegaskan: tidak semua orang mampu langsung menjalankan hukum syar’i secara sempurna, apalagi dalam kondisi darurat, keterbatasan, atau ketidaktahuan.
2️⃣ Realitas Mukallaf: Setiap Orang Berbeda
📌 Tidak semua pekerja sektor haram berada di sana karena pilihan sadar. Sebagian:
-
Baru masuk Islam.
-
Tidak tahu sebelumnya bahwa itu haram.
-
Tidak punya opsi langsung untuk berhenti.
-
Menanggung nafkah keluarga harian.
-
Tidak punya tabungan atau akses pekerjaan halal.
Kaidah ushul:
❝الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً❞
“Hukum itu berputar bersama ‘illah-nya; jika ‘illah ada maka hukum berlaku, jika tidak ada maka tidak berlaku.”
Maka, fatwa tidak boleh diputuskan secara mutlak tanpa menimbang ḥāl al-mukallaf (keadaan orang yang terkena hukum) dan ma’ālāt al-af‘āl (konsekuensi penerapan hukum).
3️⃣ Darurat, Hajah & Kaidah Ushūl yang Berlaku
Dalam kondisi terpaksa atau sangat membutuhkan, berlaku kaidah-kaidah:
❝الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ❞
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.”
❝الحاجة تُنَزَّلُ مَنزِلَةَ الضرورة عامة كانت أو خاصة❞
“Kebutuhan mendesak, baik umum maupun khusus, bisa menempati posisi darurat.”
❝الضَّرُورَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا❞
“Darurat itu diukur sesuai kadar kebutuhan.”
📌 Implikasinya:
-
Tetap haram secara prinsip.
-
Boleh sementara waktu jika memang tidak ada pilihan lain.
-
Harus berusaha keluar secepat mungkin.
-
Tidak boleh mengambil lebih dari kadar kebutuhan.
4️⃣ Fiqh al-Wāqi’ & Maqāṣid: Syarat Sah Fatwa
🧠 Seorang mufti tidak hanya membawa dalil, tapi juga:
-
Membaca realitas lapangan.
-
Menimbang maslahat dan mafsadah.
-
Mengukur kekuatan dan kelemahan mukallaf.
Fatwa yang benar harus memadukan:
-
al-ḥukm al-‘ām (hukum umum)
-
ḥāl al-mukallaf (kondisi spesifik)
-
ma’ālāt al-af‘āl (konsekuensi penerapan)
📌 Dalam kasus ini, fatwa berfungsi sebagai alat tadarruj (pendekatan bertahap) — bukan alat pemaksaan instan yang memutus harapan.
5️⃣ Kritik untuk “Ahli Fatwa” yang Kaku & Tak Bijak
📛 Fatwa itu amanah besar, bukan ajang unjuk hafalan.
📛 Mengharamkan itu mudah — menunjukkan jalan keluar itulah ilmu.
⚠️ Fatwa kaku yang mengabaikan realitas dapat:
-
Membuat orang meninggalkan agama.
-
Menjerumuskan keluarga ke kelaparan.
-
Membuka celah kebencian terhadap syariah itu sendiri.
🗯️ "Kalau kamu cuma bisa bilang ‘haram’, tapi tak mengerti beban hidup orang, maka diam itu lebih syar’i."
Islam bukan agama yang menghancurkan manusia dengan idealisme hukum, tetapi agama yang membimbing dari gelap menuju terang, setahap demi setahap.
6️⃣ Peran Negara: Menutup Sumber Haram Harus Disertai Solusi Halal
✅ Negara wajib menutup sektor arak, judi, dan riba.
❌ Menutup tanpa menyediakan alternatif halal adalah pengkhianatan terhadap maqāṣid syarī‘ah.
Tugas negara:
-
Merancang transisi ekonomi.
-
Menyediakan pelatihan & peluang kerja baru.
-
Menjamin keamanan nafkah warga terdampak.
📜 "Tugas pemimpin bukan hanya menghukum yang salah, tapi juga membuka jalan bagi yang ingin berubah."