13 ETIKA SEORANG MUFTI: PELAJARAN DARI KULIAH USHUL AL-FATWA
📜 PENGANTAR
Fatwa dalam Islam bukan sekadar jawaban hukum, melainkan amanah besar yang menuntut keikhlasan, keluasan ilmu, dan kepekaan terhadap realitas umat. Seorang mufti dituntut bukan hanya memahami teks syariat, tetapi juga mampu menyingkap konteks, tabiat manusia, serta memberikan solusi yang membimbing kepada jalan yang diridhai Allah. Kuliah Ushul al-Fatwa karya Syaikh Dr. Musthafa bin Karamatillah Mukhdum menekankan bahwa fatwa adalah ibadah mulia yang sangat berisiko bila disalahgunakan. Karena itu, seorang mufti harus berhati-hati, beradab, dan senantiasa merasa bergantung kepada Allah ﷻ.
Pada bagian ketiga kuliah ini, beliau merinci 13 adab penting yang wajib dimiliki seorang mufti. Mulai dari menjaga niat agar ikhlas, memahami pertanyaan dengan benar, bermusyawarah dengan para ahli, hingga memberi alternatif halal dan solusi praktis bagi umat. Setiap adab dijelaskan dengan dalil, teladan para salaf, serta penerapan dalam konteks modern. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita menyadari bahwa fatwa bukan sekadar “halal” dan “haram”, tetapi jalan menuju kemudahan, keadilan, dan rahmat syariat Islam bagi manusia.
📘 RANGKUMAN KULIAH
🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Tujuan Pembahasan
Kuliah ini melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang bahaya, kemuliaan, dan hukum fatwa. Fokus pada sesi ini adalah Adab al-Mufti (آداب المفتي), yaitu etika, prinsip-prinsip ilmiah, dan rambu-rambu moral yang harus dijaga oleh seorang pemberi fatwa sebelum, selama, dan setelah proses fatwa.
🧠 Bagian 2: 13 Adab (Etika) Seorang Mufti
Adab 1: Ikhlas dan Bergantung Sepenuhnya kepada Allah (الإخلاص والافتقار إلى الله)
Sebelum memberi fatwa, seorang mufti harus memurnikan niatnya hanya untuk Allah SWT. Tujuannya adalah menjalankan kewajiban al-Bayan (penjelasan hukum) dan mencari ridha-Nya, bukan popularitas, jabatan, atau pujian manusia.
-
Landasan: Manusia pada hakikatnya lemah dan sangat bergantung pada pertolongan Allah. Seberapapun ilmu dan kecerdasannya, taufik (bimbingan kepada kebenaran) mutlak datang dari Allah.
-
Kisah Teladan: Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, jika menghadapi masalah yang sangat sulit, beliau pergi ke tanah lapang, bersujud, dan berdoa:
"Ya Allah, Yang telah mengajarkan Ibrahim, ajarkanlah aku. Ya Allah, Yang telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku."
Ini menunjukkan betapa beliau merasa sangat fakir (butuh) kepada Allah.