MERANTAU UNTUK ILMU

Tadzkirah dan Q&A dengan Pelajar Indonesia

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 2019

Peta peradaban ilmu Islam tidak digambar dengan garis statis di dalam perpustakaan. Ia dilukis dengan jejak langkah dinamis para pengembara—dari Cordoba yang megah, melintasi Gurun Sahara, hingga sampai ke Baghdad yang menjadi pusat peradaban.

Setiap jejak itu menceritakan sebuah prinsip: bahwa ilmu yang hakiki adalah yang menghidupkan, dan sesuatu yang hidup pasti bergerak. Ia tidak bisa diam. Seperti air yang mengalir, seperti anak panah yang melesat, seperti singa yang menjelajah.


Lalu, di manakah posisi kita di peta yang luas ini? Bagaimana kita bisa menghidupkan kembali semangat rihlah itu di tengah dunia yang serba instan? Bagaimana ruang kos-kosan, kampus, dan kota tempat kita tinggal hari ini bisa menjadi "Andalusia" zaman baru—medan tempat kita bertualang mencari makna?

Mari kita membacanya kembali. Karena setiap pencarian yang jujur, pada hakikatnya, adalah penerus dari jejak langkah mereka.

Berikut rangkumannya:

PANDUAN BERHARGA DARI MUFTI UNTUK GENERASI MUDA MUSLIM MEMAHAMI AGAMA

Kuliah dan Tanya Jawab Bersama Pelajar Baru

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 2018

Pernahkah kamu merasa bingung dengan banyaknya perbedaan pendapat dalam Islam? Atau mungkin, kamu sering bertanya-tanya, "Kenapa sih aturan agama kadang terasa begitu sulit dan jadul?" Jika iya, maka kuliah untuk mahasiswi UiTM Perlis ini adalah jawabannya. Dengan bahasa yang santun, lugas, dan penuh contoh nyata, Mufti Negeri Perlis berusaha membukakan jendela baru dalam memandang Islam.

Beliau membongkar akar sejarah perbedaan pendapat (khilafiyah) dengan cara yang mudah dicerna, sehingga kita paham bahwa perbedaan itu bukan aib, tapi bukti dinamika pemikiran umat. Yang lebih mengagumkan, melalui studi kasus dari kebijakan fiqih di Perlis, kita diajak melihat bagaimana agama ini sejatinya hadir untuk memudahkan, bukan mempersulit; untuk berbuat adil, bukan menzalimi.

Mulai dari zakat fitrah yang boleh dibayar dengan uang, hingga perlindungan hak-hak perempuan dalam pernikahan—semua dibahas dengan dalil yang kuat dan logika yang masuk akal. Mufti mengajak kita keluar dari "kotak" fanatisme buta dan membangun pemahaman agama yang ilmiah, kontekstual, dan penuh kasih sayang.

Berikut rangkumannya:

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MENYIKAPI MATA PENCAHARIAN PADA SEKTOR YANG DIANGGAP HARAM

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Dalam idealitas hukum Islam, yang haram tetap haram. Tidak ada perdebatan dalam larangan minum khamr, berjudi, riba, dan seluruh cabang-cabangnya. Namun dalam kenyataan sosial, umat sering kali tidak hidup di dalam sistem yang murni syariah. Mereka hidup di tengah arus kapitalisme, sekularisme, dan tekanan ekonomi yang menjerat.

Maka muncullah pertanyaan yang mengguncang: "Kalau kerja di pabrik arak, halal atau haram?" "Kalau dia baru masuk Islam, bagaimana nasib hidupnya?"


🧭 PENGANTAR

Di tengah hiruk pikuk pertanyaan hukum yang melibatkan sektor-sektor haram seperti arak, judi, dan riba, sering kali muncul satu persoalan besar yang kerap disederhanakan oleh mereka yang tergesa-gesa berfatwa: "Apa hukum bekerja di tempat-tempat tersebut?"

Jawabannya memang jelas secara nash: “Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, Shahih)

Namun persoalan sebenarnya tidak berhenti pada “apakah itu haram?”. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah:
🔍 Bagaimana cara membimbing manusia keluar dari lingkaran keharaman?
🔍 Apa sikap syariat terhadap orang yang belum mampu keluar, bukan karena membangkang, tapi karena belum sanggup?

Di sinilah agama yang raḥmatan lil-‘ālamīn menunjukkan wajah sejatinya: bukan agama kaku yang menafikan kondisi manusia, tetapi agama yang punya prinsip, sekaligus keluasan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam implementasi. Sayangnya, di era modern ini kita menyaksikan fenomena memilukan: Banyak yang baru hafal satu dua dalil, sudah berani duduk di kursi fatwa. Banyak yang fasih menyebut “ini haram!”, tapi gagap ketika ditanya: “Lalu apa solusinya?”

⚠️ Mereka menempatkan hukum fiqh pada tempat taḥkīm, tapi melupakan maqāṣid, ḥāl, dan fiqh al-wāqi’.
⚠️ Mereka menyangka agama cukup ditegakkan dengan ucapan keras, padahal agama tidak dibangun hanya dari hukum, tetapi juga dari hikmah, maqāṣid, dan pengetahuan tentang manusia.
📛 Mereka tahu kaidah, tapi lupa proporsinya.
📛 Mereka cepat menyatakan haram, tapi lalai memikirkan taṭbīq (implementasi syar’i) sesuai qawā’id ushuliyyah dan kaidah maslahat-dharurat.

ISLAM YANG MENCERAHKAN

Kuliah dan Tanya Jawab bersama pelajar

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 2016

Pernahkah kita bertanya: bagaimana seharusnya Islam dipahami dan diamalkan di tengah kehidupan modern yang penuh dengan informasi—dan disinformasi? 

Dalam sebuah sesi yang hangat dan penuh keakraban bersama mahasiswa UniMAP, Perlis, Shahibus Samahah Mufti Dato' Dr. MAZA tidak hanya menyampaikan kuliah. Beliau membuka ruang dialog yang jujur, kritis, dan mencerahkan. Dari soal hukum hingga fenomena sosial, dari tafsir Al-Qur’an hingga isu-isu kekinian seperti klaim “bertemu Nabi” dan fenomena radikalisme.

Postingan ini merangkum secara lengkap dan mendalam seluruh materi yang disampaikan, termasuk sesi tanya jawab yang seru dan penuh ilmu. Kamu akan diajak untuk:

  • Memahami prinsip dasar Islam yang rahmatan lil ‘alamin – bukan hanya untuk Muslim, tapi untuk seluruh alam.
  • Menyikapi perbedaan mazhab dengan bijak, tanpa fanatik buta.
  • Mengenal cara berpikir kritis dalam menyikapi hadis, tafsir, dan isu agama.
  • Menjawab ragu-ragu umum seputar Al-Qur’an, aurat, hingga fenomena klaim spiritual yang kerap menyesatkan.
  • Mengetahui pandangan Islam yang moderat dan kontekstual tentang kehidupan kampus, pergaulan, dan isu global seperti ISIS.

Dengan bahasa yang santai namun mendalam, kuliah ini cocok untuk siapa saja khususnya kalangan muda yang ingin memahami agama tidak sekadar hitam-putih, tetapi dengan pendekatan yang logis, manusiawi, dan tetap berpegang pada dalil.

Berikut rangkumannya:

MUAMALAT DAN FIQIH KEHIDUPAN: MENGAPA HUKUM ASAL SEGALA URUSAN ADALAH MUBAH

Kuliah ringan ushul fiqh bersama pelajar

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 2019

Dalam keseharian, kita sering bingung: apakah boleh melakukan ini? Apakah halal memakai itu? Apakah sah berbisnis dengan cara tertentu? Banyak orang terburu-buru mengharamkan sesuatu hanya karena "tidak biasa" atau "terlihat janggal". Padahal, Islam memiliki kaidah emas yang menenangkan: “Al-Ashlu fil-Mu‘āmalāti al-Ibāhah” – hukum asal dalam muamalat adalah boleh.

Kaidah ini menegaskan bahwa Allah tidak membebani manusia dengan larangan kecuali ada dalil yang jelas. Selama tidak ada kezaliman, penipuan, atau pelanggaran syariat, maka urusan jual-beli, politik, seni, budaya, bahkan mode berpakaian pada dasarnya halal.

Berbeda dengan ibadah, yang seluruh tata caranya harus berpijak pada dalil wahyu, urusan muamalat justru dibangun atas dasar kelonggaran demi maslahat manusia. Prinsip ini membebaskan kita dari belenggu pemikiran sempit dan mengajarkan agar tidak mudah menuduh “haram” pada sesuatu yang Allah tidak haramkan.

Di sinilah keindahan fiqih Islam: ia realistis, membumi, dan menjaga keseimbangan. Ia melarang kezaliman dan penipuan, namun memberi kebebasan seluas-luasnya bagi kreativitas manusia untuk membangun peradaban.

Berikut rangkumannya:

MEMAHAMI KONSEP NASH DAN MASLAHAH: KUNCI DINAMIKA HUKUM ISLAM DALAM MENJAWAB PROBLEMA KONTEMPORER

Kuliah ringan ushul fiqh bersama pelajar

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 2019

Pernahkah kita berpikir, bagaimana mungkin ulama membolehkan sesuatu yang seolah-olah "bertentangan" dengan teks agama yang jelas? 

Misalnya, Nabi SAW tidak menetapkan harga, tapi pemerintah hari ini justru melakukannya. Atau, dalam kasus yang lebih ekstrem, bagaimana hukumannya jika sepuluh orang membunuh satu orang? Apakah hanya satu yang dihukum mati?


Jawabannya terletak pada pemahaman yang mendalam tentang dua pilar penting dalam istinbath hukum Islam: Nas dan Maslahah. Postingan ini akan mengajak kita menyelami keduanya secara lengkap dan mudah dipahami, berdasarkan kajian mendalam. Kita akan melihat bahwa fiqh Islam bukanlah hukum yang kaku, tetapi sangat hidup, adil, dan penuh dengan hikmah untuk kemaslahatan umat di setiap zaman.

Berikut rangkumannya:

MERANGKAI KEAGUNGAN KHAZANAH INTELEKTUAL EMPAT MAZHAB FIQH

Forum Kegemilangan Empat Mazhab Fikih dalam Islam, Panelis: Al-Ustaz Salman Ali (Mazhab Hanafi) - Dr. Mazlee Malik (Mazhab Maliki) - Prof. Madya Dato DR. MAZA (Mazhab Syafi'i) - Dr. Rozaimi Ramle (Mazhab Hambali) - Arsip 07/2016
 

Diskursus empat mazhab fiqh—Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali—merupakan manifestasi historis dari keberagaman manhaj istidlāl yang berkembang sejak abad kedua Hijriyah. Forum ini menawarkan suatu majlis ilmī yang mempertemukan representasi metodologis masing-masing mazhab dalam format dialogis, sehingga memungkinkan analisis komparatif terhadap usul dan furū‘ yang mereka terapkan. Dari orientasi ra’yu dan ‘urf-centrism dalam madrasah Hanafi, otoritas ‘amal ahl al-Madinah pada madrasah Maliki, sintesis nash-ra’yu dan kodifikasi usul al-fiqh oleh al-Syafi‘i, hingga komitmen tekstual dan keteguhan teologis dalam madrasah Hanbali—semuanya dipaparkan dengan kerangka epistemologis yang terstruktur.

Selain memberikan taḥqīq terhadap prinsip-prinsip metodologis, forum ini menyinggung implikasi praktisnya dalam konteks kontemporer, termasuk perdebatan seputar talfiq, distingsi antara khilāf mu‘tabar dan ghayr mu‘tabar, serta mekanisme takhayyur dalam proses istinbāṭ fatwa institusional. Dengan demikian, majlis ini tidak sekadar menjadi ruang elaborasi teori, melainkan juga laboratorium intelektual yang menguji relevansi kerangka usuliyyah klasik terhadap realitas hukum modern. Bagi para peneliti, akademisi, dan praktisi hukum Islam, mengikuti perbincangan ini hingga akhir adalah kesempatan untuk menyaksikan integrasi antara turāth dan konteks, antara disiplin ilmiah dan etika ikhtilaf, sebagaimana diidealkan dalam tradisi ushul fiqh.


📖 Rangkuman Lengkap Forum Perdana 4 Mazhab Fikih

Narasumber:

  • Ust. Salman Ali (Hanafi)

  • Dr. Mazri Malik (Maliki)

  • Dato' Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin (Syafi'i)

  • Dr. Rozaimi Ramli (Hambali)

Moderator: Ust. Muhammad Nazim
Tempat & Tanggal: Negeri Perlis, 30 Juli 2016


Bagian 1: Pembukaan dan Pengantar Forum

1.1 Sambutan dan Pengenalan Panelis

Moderator (Ust. Muhammad Nazim) membuka acara dengan ucapan salam dan puji syukur kepada Allah SWT. Beliau menyambut hangat seluruh hadirin yang datang dari dalam dan luar Perlis. Acara ini digambarkan sebagai wacana ilmu yang membahas keagungan empat mazhab fikih dalam Islam.

Keempat panelis diperkenalkan beserta fokus mazhab yang akan mereka bahas:

  1. Ust. Salman Ali (Qatar Foundation): Akan memfokuskan pada Mazhab Hanafi.

  2. Prof. Madya Dr. Mazri Malik (Universiti Sains Islam Malaysia - USIM): Akan memfokuskan pada Mazhab Maliki.

  3. Dato' Prof. Madya Dr. Haji Muhammad Asri Zainul Abidin (Mufti Negeri Perlis): Akan memfokuskan pada Mazhab Syafi'i.

  4. Dr. Rozaimi Ramli (Universiti Pendidikan Sultan Idris - UPSI & AJK Fatwa Perlis): Akan memfokuskan pada Mazhab Hambali.

1.2 Kata Pembuka dari Imam Ibnu Hajar Al-Haitami

Moderator mengutip perkataan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Rahimahullah sebagai pembuka yang indah:

"Al-Syafi'i wa Abu Hanifah wa Malik wa Ahmad wa sa'ir a'immati al-Muslimin ala hudamir Rabbihim. Fajazahumu Allah Ta'ala al-Islam wal-Muslimin khairal jaza."
(Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan seluruh imam kaum Muslimin berada di atas hidayah dari Tuhan mereka. Maka semoga Allah membalas mereka atas Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik balasan.)

Kutipan ini menegaskan bahwa semua imam mazhab adalah orang-orang yang mendapat hidayah, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat.

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 04

ADAB MUSTAFTI: ETIKA BERTANYA DALAM FATWA (USHUL AL-FATWA BAGIAN 4)

Dalam tradisi Islam, meminta fatwa adalah ibadah yang sarat adab. Namun, realitas sering membalikkan wajahnya: sebagian hanya bertanya untuk mencari celah, bukan kebenaran. Maka, masihkah kita jujur pada niat kita?

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 4



PENGANTAR

Dalam melanjutkan seri kuliah Ushul al-Fatwa, sesi keempat ini menutup pembahasan penting mengenai prinsip-prinsip fatwa dengan fokus pada adab al-mustafti — yakni tata krama, kewajiban, dan sikap seorang muslim ketika meminta fatwa. Sering kali masyarakat hanya menyoroti peran mufti, padahal peminta fatwa (mustafti) juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keikhlasan niat, memilih sumber yang tepat, serta bersikap hormat kepada ulama yang ditanyai.

Materi ini menggarisbawahi bahwa bertanya tentang hukum bukanlah sekadar mencari jawaban instan, melainkan bagian dari ibadah dan cermin keimanan. Dengan memahami adab-adab yang benar — mulai dari keikhlasan, ketelitian dalam memilih mufti, hingga cara menyikapi perbedaan pendapat ulama — seorang muslim akan lebih mudah memperoleh fatwa yang bermanfaat, mengamalkannya dengan tenang, dan terhindar dari kekeliruan serta perselisihan yang tidak perlu.


📘 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Tujuan Pembahasan

Kuliah ini menutup seri pembahasan tentang prinsip-prinsip fatwa. Fokus pada sesi ini adalah Adab al-Mustafti (آداب المستفتي), yaitu etika, kewajiban, dan adab-adab yang harus diperhatikan oleh orang yang bertanya (peminta fatwa) dalam proses konsultasi hukum Islam.


🤲 Bagian 2: Adab-Adab bagi Orang yang Bertanya (Mustafti)

Adab 1: Ikhlas dalam Niat dan Pertanyaan (الإخلاص في النية والسؤال)

Penjelasan:
Seorang mustafti harus memurnikan niatnya. Tujuan bertanya hendaknya semata untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya, siap untuk tunduk dan patuh terhadap apapun jawabannya.

Larangan: Niat yang tercela dalam bertanya antara lain:

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 03

13 ETIKA SEORANG MUFTI: PELAJARAN DARI KULIAH USHUL AL-FATWA

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 3

📜 PENGANTAR

Fatwa dalam Islam bukan sekadar jawaban hukum, melainkan amanah besar yang menuntut keikhlasan, keluasan ilmu, dan kepekaan terhadap realitas umat. Seorang mufti dituntut bukan hanya memahami teks syariat, tetapi juga mampu menyingkap konteks, tabiat manusia, serta memberikan solusi yang membimbing kepada jalan yang diridhai Allah. Kuliah Ushul al-Fatwa karya Syaikh Dr. Musthafa bin Karamatillah Mukhdum menekankan bahwa fatwa adalah ibadah mulia yang sangat berisiko bila disalahgunakan. Karena itu, seorang mufti harus berhati-hati, beradab, dan senantiasa merasa bergantung kepada Allah ﷻ.

Pada bagian ketiga kuliah ini, beliau merinci 13 adab penting yang wajib dimiliki seorang mufti. Mulai dari menjaga niat agar ikhlas, memahami pertanyaan dengan benar, bermusyawarah dengan para ahli, hingga memberi alternatif halal dan solusi praktis bagi umat. Setiap adab dijelaskan dengan dalil, teladan para salaf, serta penerapan dalam konteks modern. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita menyadari bahwa fatwa bukan sekadar “halal” dan “haram”, tetapi jalan menuju kemudahan, keadilan, dan rahmat syariat Islam bagi manusia.


📘 RANGKUMAN KULIAH


🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Tujuan Pembahasan

Kuliah ini melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang bahaya, kemuliaan, dan hukum fatwa. Fokus pada sesi ini adalah Adab al-Mufti (آداب المفتي), yaitu etika, prinsip-prinsip ilmiah, dan rambu-rambu moral yang harus dijaga oleh seorang pemberi fatwa sebelum, selama, dan setelah proses fatwa.


🧠 Bagian 2: 13 Adab (Etika) Seorang Mufti

Adab 1: Ikhlas dan Bergantung Sepenuhnya kepada Allah (الإخلاص والافتقار إلى الله)

Sebelum memberi fatwa, seorang mufti harus memurnikan niatnya hanya untuk Allah SWT. Tujuannya adalah menjalankan kewajiban al-Bayan (penjelasan hukum) dan mencari ridha-Nya, bukan popularitas, jabatan, atau pujian manusia.

  • Landasan: Manusia pada hakikatnya lemah dan sangat bergantung pada pertolongan Allah. Seberapapun ilmu dan kecerdasannya, taufik (bimbingan kepada kebenaran) mutlak datang dari Allah.

  • Kisah Teladan: Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, jika menghadapi masalah yang sangat sulit, beliau pergi ke tanah lapang, bersujud, dan berdoa:

    "Ya Allah, Yang telah mengajarkan Ibrahim, ajarkanlah aku. Ya Allah, Yang telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku."
    Ini menunjukkan betapa beliau merasa sangat fakir (butuh) kepada Allah.

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 02

Dalam pandangan Ibnul Qayyim, setiap fatwa adalah pernyataan resmi dari hukum Allah di bumi. Namun, di tengah riuh media sosial dan derasnya informasi, amanah ini sering dipikul oleh pundak yang rapuh atau tangan yang gemetar oleh kepentingan dunia. Inilah saatnya menimbang ulang siapa yang berhak menandatangani nama Allah dalam perkara hukum.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 2



📖 Pengantar

Fatwa adalah tanda tangan atas nama Rabbul ‘Alamin — sebuah frasa yang mungkin terdengar puitis, tapi hakikatnya adalah peringatan keras. Ibn Qayyim mengingatkan bahwa mufti bukan pencipta hukum, melainkan juru bicara hukum Allah di bumi. Setiap huruf yang keluar dari lisannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang menurunkan hukum itu sendiri. Namun, di era banjir informasi dan haus sensasi, fatwa sering bergeser dari amanah ilmiah menjadi komoditas publik: mudah diakses, cepat viral, tapi kerap kehilangan akarnya pada dalil yang sahih.

Fenomena fawḍā al-fatāwā hari ini memperlihatkan wajah lain dunia fatwa — ketika “mufti instan” bermunculan di layar ponsel, ketika perbedaan ijtihad berubah menjadi drama terbuka, dan ketika masyarakat lupa bahwa kebenaran tidak diukur dari jumlah like atau share. Kajian ini adalah undangan untuk kembali ke pondasi: menghidupkan adab berfatwa, menegakkan syarat ilmiah, dan menempatkan kembali fatwa sebagai cahaya penuntun, bukan bara yang membakar.


📘 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Pengulangan

Kuliah ini merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya mengenai Adab al-Fatwa (Etika dalam Berfatwa).
Ditegaskan kembali bahwa fatwa secara definitif adalah:

"Menampakkan/mengungkapkan hukum syar'i tanpa ada unsur pemaksaan."
(إظهار الفقيه للحكم الشرعي بلا إلزام)

Ini membedakannya dari putusan hakim (qadha') yang bersifat mengikat.


⚠️ Bagian 2: Bahaya dan Kemuliaan Fatwa

1. Bahaya (Khatriyah) Fatwa

  • Fatwa adalah proses menyandarkan suatu hukum kepada Allah SWT.

  • Ketika seorang mufti mengatakan "Ini halal" atau "Ini haram", esensinya dia sedang mengatakan "Allah telah menghalalkan ini" atau "Allah telah mengharamkan ini".

  • Jika fatwa tidak didasarkan pada dalil yang sahih, mufti tersebut memikul tanggung jawab yang sangat besar di hadapan Allah.

🔑 Poin Kunci:

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 01

Ibnul Qayyim menyebut mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—amanah yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesabaran untuk berkata “aku tidak tahu” sebagaimana para sahabat. Namun di era mufti instan, fatwa viral, dan perang opini, adab mulia itu terkikis oleh kecepatan jari dan ego layar, menjadikan setiap kata berpotensi menjadi cahaya penuntun atau bara yang membakar.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 1



📜 Pengantar

Berfatwa adalah amanah besar, bukan sekadar menjawab pertanyaan dengan segelintir dalil yang dihafal. Ibn Qayyim menggambarkan mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—tugas yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesadaran bahwa setiap kata akan dihisab. Ironisnya, di era “mufti instan” dan “fatwa viral”, kehati-hatian yang menjadi ciri ulama salaf justru tergeser oleh kecepatan jari mengetik dan sensasi tayangan layar.

Sejarah menunjukkan, para sahabat Nabi ﷺ justru sering memilih diam daripada berfatwa tanpa keyakinan penuh. Mereka memahami bahwa satu kalimat salah bisa menyesatkan umat. Namun kini, perbedaan pendapat menjadi komoditas, dan “perang fatwa” disiarkan tanpa penjelasan metodologi. Memahami sejarah, adab, dan metodologi iftā’ bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak—bukan hanya bagi para ulama, tetapi juga bagi umat yang menjadi penerima fatwa.


📚 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Pendahuluan dan Pentingnya Memahami Fatwa

1.1 Pembukaan dan Konteks

Kuliah dibuka dengan pujian kepada Allah dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Pemateri mengapresiasi inisiatif Kementerian Wakaf Suriah yang menyelenggarakan kursus-kursus ilmiah seperti ini, yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas para dai, khatib, dan praktisi keagamaan lainnya.


1.2 Fenomena Fatwa dalam Masyarakat

Pemateri menjelaskan bahwa fatwa adalah fenomena yang alami dan penting dalam masyarakat Islam.
Sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab RA,

"Kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam."

Sistem kehidupan umat ini adalah Islam, dan sistem ini dipahami oleh para ulama, yang kemudian menggali hukum-hukumnya langsung dari sumber-sumber syariah.

🔑 Poin Kunci:

  • Mayoritas umat (as-sawadul a'zham) tidak mampu menggambil hukum langsung dari sumbernya (Al-Quran dan Hadits) karena membutuhkan banyak ilmu dan waktu yang panjang untuk memenuhi kualifikasi ijtihad.

  • Mereka membutuhkan rujukan kepada ahlul ilmi (orang yang berilmu) untuk bertanya tentang maksud Allah dan Rasul-Nya.

  • Fenomena fatwa adalah fenomena harian. Ada puluhan ribu pertanyaan dan masalah yang diajukan kepada para mufti dan ulama melalui media dan saluran komunikasi.


1.3 Problematika dan "Perang Fatwa"

Era teknologi dan media saat ini mempermudah akses kepada ulama, tetapi juga menimbulkan masalah serius jika tidak diatur dengan dhawabith syar'iyyah (rambu-rambu syariat).

⚠️ Masalah yang Muncul:

MAZHAB HANAFI: ANTARA FITNAH, SALAH FAHAM, DAN KEINDAHAN IJTIHAD

Ahli panel: Dr. Zaharudin Abdul Rahman - AJK Fatwa Negeri Perlis


Kesalahfahaman terhadap mazhab, termasuk mazhab Hanafi, mengajarkan kita satu hal penting: perbedaan ijtihad ulama bukan alasan untuk merendahkan, melainkan peluang untuk memperkaya pemahaman agama. Imam Abu Hanifah dan para imam besar lainnya berijtihad dengan penuh amanah sesuai konteks zaman mereka. Apa yang kadang terlihat “janggal” di mata kita hari ini, sering kali lahir dari kebutuhan dakwah dan kemaslahatan umat di masa awal Islam.

Apakah kita akan terus mewarisi fitnah dan salah faham tentang mazhab, ataukah kita siap menghidupkan kembali adab berbeza pendapat yang diwariskan para ulama? 

🖋️ PENGANTAR

Dalam sejarah fiqh, mazhab Hanafi sering kali menjadi sasaran salah faham dan fitnah ilmiah. Salah satu contohnya ialah tuduhan bahawa Imam Abu Hanifah menghalalkan solat dengan membaca al-Fatihah dalam bahasa Parsi. Bahkan ada ulama besar mazhab lain yang secara terang-terangan menggambarkan “solat Hanafi” dengan cara yang sengaja dipelesetkan: berwudhu dengan air berlalat, bertakbir dengan bahasa asing, membaca al-Fatihah terjemahan, tanpa tumakninah, dan menutup solat dengan kentut! Gambaran ini jelas provokatif, namun justru menyingkap persoalan serius: benarkah begitu mazhab Hanafi, ataukah ini hanyalah manipulasi untuk menjatuhkan?

Kajian akademik yang teliti—seperti yang dilakukan oleh Syahid Abu Zahra—menunjukkan bahawa fatwa Imam Abu Hanifah tentang kebolehan membaca terjemahan al-Fatihah dalam solat bukanlah prinsip tetap mazhab, melainkan ijtihad sementara yang lahir dari konteks dakwah: bagaimana meringankan orang Parsi yang baru masuk Islam dan kesulitan melafazkan bahasa Arab. Bahkan riwayat sahih membuktikan bahawa Abu Hanifah kemudian menarik kembali fatwa tersebut. Dengan kata lain, pernyataan kecil dalam isu furu‘ tidak boleh digeneralisasikan menjadi usul mazhab.


📚 FAWAID

1. Salah Faham yang Tersebar

  • Ada tuduhan ekstrem terhadap Imam Abu Hanifah dan mazhabnya, seolah-olah solat Hanafi dilakukan dengan:

    • Wudhu menggunakan air berlalat.

    • Bertakbir dalam bahasa Parsi.

    • Membaca al-Fatihah dalam terjemahan.

    • Tidak melakukan tumakninah dalam solat.

    • Menutup solat dengan suara kentut.

  • Tuduhan ini lahir bukan dari penelitian ilmiah, melainkan dari fitnah dan sentimen terhadap mazhab Hanafi.