Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah bukan sekadar murid Ibn Taymiyyah, tapi seorang mujtahid berani yang selalu menempatkan Qur’an dan Sunnah di atas nama besar atau tradisi. Ia menolak taqlid buta, mengkritik ijma‘ rapuh, bahkan berani menyelisihi gurunya demi kebenaran. Warisannya bukan hanya kitab seperti I‘lam al-Muwaqqi‘in, tetapi juga nyali ilmiah untuk berkata benar meski dibenci. Pertanyaan penting untuk kita: siapkah kita meneladani keberanian beliau, ataukah kita lebih suka bersembunyi di balik fanatisme mazhab?
Menggali ketokohan Ibnul Qayyim bukan sekadar membaca biografi seorang ulama besar, melainkan sebuah cermin yang menantang kita: sejauh mana keberanian intelektual kita dalam beragama?
Beliau telah menunjukkan bahwa:
-
Dalil adalah raja. Tidak ada pandangan sahabat, imam, atau jumhur yang boleh berdiri jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah sahih.
-
Ijtihad memerlukan nyali. Penjara, celaan, bahkan tuduhan sesat bukan alasan untuk menukar kebenaran dengan keredhaan manusia.
-
Ilmu bukan hafalan belaka. Ia harus disertai integritas, adab dalam berfatwa, dan kesanggupan berkata “saya tidak tahu” bila memang belum jelas dalilnya.
Hari ini, kita hidup di zaman di mana banyak orang
berdebat dengan retorik tanpa dalil, atau berlindung di balik slogan “ikut mazhab” tanpa memahami bagaimana
mazhab itu dibina. Ibnul Qayyim hadir sebagai pengingat keras:
agama ini tidak dibangun atas taqlid buta, tetapi atas hujjah yang
jelas.
Dalam sejarah panjang keilmuan Islam, nama Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H) sering tenggelam di balik bayang gurunya, Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah. Ironisnya, meskipun beliau menghasilkan karya-karya monumental, ketokohannya kerap hanya disebut sepintas lalu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan provokatif: Apakah kita adil dalam menilai warisan intelektual para ulama, ataukah kita hanya menumpang pada popularitas figur tertentu?
Ibnul Qayyim adalah bukti hidup bahwa ijtihad sejati lahir dari keberanian intelektual. Beliau bermazhab Hanbali, tetapi tidak pernah terikat dengan taqlid buta. Baginya, ukuran kebenaran bukanlah nama besar sahabat, bukan juga jumhur fuqaha, tetapi dalil yang sahih dari al-Qur’an dan Sunnah. Prinsip ini membuatnya berani menolak pandangan Umar bin al-Khattab dalam beberapa isu, berbeda dengan gurunya sendiri, bahkan berseberangan dengan konsensus palsu yang sering diulang-ulang tanpa penelitian mendalam.
Inilah karakter yang menggelisahkan: ulama seperti Ibnul Qayyim selalu mengundang kontroversi. Fatwa beliau tentang niat ziarah ke makam Nabi ﷺ menyeretnya ke penjara. Metodologinya yang menolak “ijmak bohongan” membuat sebagian kelompok menuduhnya sebagai perosak tradisi. Akan tetapi, bukankah inilah ciri khas para mujaddid? Mereka hadir bukan untuk mengulang apa yang ada, melainkan untuk menghidupkan semula semangat al-ruju‘ ila al-nusus – kembali kepada teks wahyu yang murni.
Dalam karya-karyanya, dari I‘lam al-Muwaqqi‘in hingga Zad al-Ma‘ad, Ibnul Qayyim mengajarkan bahwa fatwa tanpa dalil hanyalah ilusi, dan bahwa Sunnah sejajar dengan al-Qur’an dalam membangun hukum. Pandangan ini, jika direnungkan, menjadi cabaran bagi para penuntut ilmu masa kini: Apakah kita berani mewarisi keberanian beliau untuk menimbang setiap pandangan ulama dengan timbangan dalil, ataukah kita hanya puas mengulang slogan “mazhab kami sudah cukup”?
📚 Faedah Penting
1. 🌱 Asal-Usul & Biografi Ringkas
-
Nama penuh: Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub, terkenal dengan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah.
(691 H – 751 H).
-
Gelar: Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (dinisbahkan kepada sekolah al-Jauziyyah yang ayahnya pimpin).
-
Zaman: Ulama besar kurun ke-8 Hijrah.
-
Guru utama: Ayahnya sendiri, Ibn Muflih, Majduddin al-Farra’, dan paling dekat – Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah.
🔎 Hikmah kecil: Allah memilih lahirnya ulama besar di pusat ilmu.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (الشرح: 4)
“Dan Kami tinggikan sebutanmu.”
2. 📖 Kesungguhan dalam Menuntut Ilmu
-
Koleksi kitab: Luar biasa banyak; anak-anaknya butuh lama untuk menjualnya setelah beliau wafat.
-
Dikenal zuhud & ibadah: Ibn Kathir berkata, “Aku adalah yang paling rapat dan paling cinta kepada Ibnul Qayyim.”
-
Minat luas: Menguasai tafsir, hadith, fiqh, usul fiqh, bahasa Arab, tasawwuf, hingga siyasah syar‘iyyah.
💡 Hadith:
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا (رواه مسلم)
“Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan al-Qur’an.”
3. ⚖️ Ujian & Kesabaran
-
Dua kali dipenjara:
-
Bersama Ibn Taymiyyah kerana mempertahankan fatwanya.
-
Kerana fatwa beliau tentang niat ziarah kubur Nabi ﷺ.
-
-
Tetap sabar dan konsisten.
🌿 Qur’an:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً... لَمَّا صَبَرُوا (السجدة: 24)
“Kami jadikan mereka pemimpin… kerana mereka bersabar.”
4. 🏛️ Keilmuan yang Luas
a. Tafsir & Usuluddin
-
Ibn Rajab: “Tidak ada tandingan pada zamannya dalam tafsir & usuluddin.”
b. Hadith
-
Kitab المنار المنيف: pionir kritik matan hadith (tidak hanya sanad).
-
Menolak hadith da‘if yang terlalu lemah meski sesuai pandangan beliau.
c. Fiqh Sirah
-
زاد المعاد: mengeluarkan hukum & ibrah dari sirah Nabi ﷺ.
d. Tasawwuf
-
مدارج السالكين & الوابل الصيب: tasawwuf berdasarkan Qur’an & Sunnah, bukan khurafat.
💡 Hikmah: Ulama sejati menggabungkan ketelitian ilmiah & kejernihan ruhani.
5. 📜 Metodologi Ijtihad
-
Bermazhab Hanbali secara usul, tapi tidak taqlid buta.
-
Mendahulukan Qur’an & Sunnah atas semua pandangan.
-
Contoh: tidak ikut Umar dalam fatwa talak Fatimah binti Qais.
-
Tidak ikut Umar dalam tayammum orang junub.
-
Tidak ikut Mu‘awiyah dalam waris Muslim–Kafir.
-
-
Menolak ijma‘ palsu – sulit dipastikan setelah Islam tersebar luas.
🌿 Qur’an:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ (النساء: 59)
“Jika berselisih, kembalikanlah kepada Allah & Rasul.”
6. 🕌 Adab Mufti & Fatwa (dari إعلام الموقعين)
-
Mufti wajib:
-
Menyebut dalil.
-
Menyebut metode istinbat.
-
-
Fatwa tanpa dalil = tanda kelemahan ilmu.
💡 Hadith:
رَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ (رواه أبو داود، صحيح)
“Hakim yang menghukum dengan jahil, dia di neraka.”
7. 🌟 Sikap terhadap Sunnah
-
Sunnah = setara dengan Qur’an dalam berhujah (selain kelebihan Qur’an sebagai asal wahyu).
-
Sunnah boleh membawa hukum baru yang Qur’an tidak sebut (contoh: larangan makan binatang bertaring).
🌿 Qur’an:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى... مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ (الأحزاب: 34)
“Ingatlah yang dibacakan… dari ayat Allah & hikmah (Sunnah).”
8. 🛡️ Keberanian dalam Kebenaran
-
Tidak segan menyelisihi gurunya Ibn Taymiyyah dalam beberapa masalah.
-
Mendahulukan hadith sahih meski melawan majoriti.
-
al-Shawkani: “Sentiasa terikat dengan dalil sahih, tidak pilih kasih, berani menegakkan kebenaran.”
💡 Hadith Mutawatir:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ
“Akan terus ada segolongan umatku di atas kebenaran.”
9. 📚 Kitab-Kitab Utama
-
إعلام الموقعين → Adab & metodologi fatwa.
-
زاد المعاد → Fiqh sirah & hadith nabawi.
-
مدارج السالكين → Tasawwuf & tazkiyah.
-
الوابل الصيب → Tasawwuf & doa.
-
المنار المنيف → Kritik matan hadith.
-
الطرق الحكمية → Politik syar‘iyyah.
🌿 Hikmah-Hikmah Ringkas
-
Ilmu sejati = kesetiaan pada Qur’an & Sunnah, bukan taqlid.
-
Ujian (penjara) adalah harga ketokohan.
-
Fatwa harus berlandaskan dalil, bukan hawa nafsu.
-
Sunnah adalah penjelasan sempurna Qur’an.
-
Ulama benar akan dikenang sepanjang zaman.