PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 02

I'LAMUL MUWAQQI'IN 'AN RABBIL 'ALAMIN (TANDA TANGAN A.N. RABBUL 'ALAMIN)

Dalam pandangan Ibnul Qayyim, setiap fatwa adalah pernyataan resmi dari hukum Allah di bumi. Namun, di tengah riuh media sosial dan derasnya informasi, amanah ini sering dipikul oleh pundak yang rapuh atau tangan yang gemetar oleh kepentingan dunia. Inilah saatnya menimbang ulang siapa yang berhak menandatangani nama Allah dalam perkara hukum.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 2



📖 Pengantar

Fatwa adalah tanda tangan atas nama Rabbul ‘Alamin — sebuah frasa yang mungkin terdengar puitis, tapi hakikatnya adalah peringatan keras. Ibn Qayyim mengingatkan bahwa mufti bukan pencipta hukum, melainkan juru bicara hukum Allah di bumi. Setiap huruf yang keluar dari lisannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang menurunkan hukum itu sendiri. Namun, di era banjir informasi dan haus sensasi, fatwa sering bergeser dari amanah ilmiah menjadi komoditas publik: mudah diakses, cepat viral, tapi kerap kehilangan akarnya pada dalil yang sahih.

Fenomena fawḍā al-fatāwā hari ini memperlihatkan wajah lain dunia fatwa — ketika “mufti instan” bermunculan di layar ponsel, ketika perbedaan ijtihad berubah menjadi drama terbuka, dan ketika masyarakat lupa bahwa kebenaran tidak diukur dari jumlah like atau share. Kajian ini adalah undangan untuk kembali ke pondasi: menghidupkan adab berfatwa, menegakkan syarat ilmiah, dan menempatkan kembali fatwa sebagai cahaya penuntun, bukan bara yang membakar.


📜 Pendahuluan

  • Tema utama : Pembahasan Uṣūl al-Futyā (Prinsip-Prinsip Dasar Fatwa), dengan fokus pada adab, syarat, dan tanggung jawab seorang mufti, serta metode istiftā’ (proses bertanya tentang hukum).

  • Konteks: Materi ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang definisi dan kedudukan fatwa dalam Islam. Pada bagian awal ini, ditekankan kembali bahwa fatwa bukan sekadar opini pribadi, melainkan tawqī‘ ‘anillāh — tanda tangan atas nama Allah ﷻ dalam menetapkan hukum.

  • Dalil Al-Qur’an: Disebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ sendiri memberi fatwa kepada hamba-Nya, seperti dalam firman-Nya:

    يُفْتِيكُمُ اللَّهُ
    ("Allah memberi fatwa kepadamu…") — menunjukkan kemuliaan posisi fatwa karena disandarkan langsung kepada Allah.

  • Penegasan: Kedudukan mufti dalam Islam sangat mulia karena ia mewarisi tugas para Nabi dalam menjelaskan hukum Allah kepada manusia. Akan tetapi, kedudukan ini sekaligus sangat berat karena menyangkut status halal-haram yang konsekuensinya bisa berdampak pada darah, harta, dan kehormatan manusia.


📖 Bagian 1 – Hakikat Fatwa dan Keagungannya

  1. Definisi Fatwa secara Bahasa (Lughah)

    • Al-Fatwā berarti penjelasan atau jawaban atas suatu masalah hukum.

    • Bentuk jamaknya adalah fatāwā atau futya.

  2. Definisi Fatwa secara Istilah (Iṣṭilāḥan)

    • Disebut oleh para ulama ushul fiqh sebagai:

      إظهار الفقيه للحكم الشرعي بلا إلزام
      Artinya: “Pernyataan seorang faqih tentang hukum syar’i tanpa bersifat mengikat seperti keputusan hakim.”

    • Perbedaan dengan qaḍā’: Fatwa adalah nasihat hukum tanpa paksaan pelaksanaan, sedangkan qaḍā’ adalah keputusan yang mengikat pihak-pihak yang terlibat.

  3. Perbedaan Fatwa dengan Istilah Lain

    • Fiqh: Ilmu memahami hukum syar’i dari dalilnya.

    • Ijtihād: Upaya maksimal mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syar’i.

    • Qaḍā’: Putusan hukum yang bersifat mengikat.

    • Taqrīr Nabi ﷺ: Persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan atau perkataan.

  4. Hakikat Tugas Mufti

    • Mufti tidak menciptakan hukum baru; ia hanya menampakkan hukum Allah yang sudah ada.

    • Mengatakan suatu perkara “halal” berarti ia menisbatkan penghalalan itu kepada Allah. Demikian pula sebaliknya.

    • Kesalahan dalam fatwa berpotensi menjadi bentuk tahrīf (pemalsuan) terhadap syariat jika dilakukan tanpa ilmu.

  5. Penjelasan Ibn Qayyim

    • Dalam I‘lām al-Muwaqqi‘īn, beliau menyebut mufti sebagai “penandatangan” hukum Allah di bumi (al-muwaqqi‘ ‘anillāh).

    • Amanah ini mengharuskan mufti memiliki dalil yang kuat, pemahaman yang benar, dan keikhlasan dalam menyampaikan fatwa.


🌿 Bagian 2 – Kehormatan Fatwa dalam Pandangan Syariat

  1. Kemuliaan Kedudukan Fatwa

    • Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah ﷻ sendiri terkadang memberi fatwa secara langsung, seperti dalam firman-Nya:

      يُفْتِيكُمُ اللَّهُ
      (“Allah memberi fatwa kepadamu…”)
      Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan memberi fatwa adalah perbuatan yang sangat mulia karena Allah sendiri melakukannya.

  2. Fatwa adalah Tugas Para Nabi

    • Para Nabi dan Rasul diutus untuk menjelaskan hukum Allah kepada manusia.

    • Fatwa merupakan kelanjutan tugas tersebut yang diwariskan kepada para ulama.

  3. Dampak Fatwa terhadap Hak-Hak Manusia

    • Fatwa dapat memutuskan status halal atau haram terhadap darah, harta, dan kehormatan manusia.

    • Kesalahan dalam fatwa berarti menghalalkan yang diharamkan atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah.

  4. Konsekuensi Berat bagi Mufti

    • Setiap kata dalam fatwa adalah klaim tentang hukum Allah; jika klaim itu keliru, ia akan dimintai pertanggungjawaban.

    • Hal ini membuat kedudukan mufti sekaligus mulia dan berbahaya bagi yang tidak memiliki kompetensi.


⚠️ Bagian 3 – Peringatan Al-Qur’an terhadap Fatwa Tanpa Ilmu

  1. Larangan Mengada-adakan Hukum

    • Al-Qur’an memberikan peringatan keras kepada siapa pun yang berani menetapkan hukum tanpa dalil yang sahih.

    • Firman Allah ﷻ:

      قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامٗا وَحَلَٰلٗا قُلْ ءَا للَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ
      (Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang Allah turunkan untukmu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu atau kamu mengada-adakan terhadap Allah?”) — QS. Yunus: 59

  2. Penyandaran Halal-Haram yang Palsu

    • Firman Allah ﷻ:

      وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ ٱلْكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا حَرَامٞ لِّتَفْتَرُوا عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
      (“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.”) — QS. An-Nahl: 116

  3. Status Dosa Besar

    • Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram tanpa dalil yang sahih termasuk dosa besar (kabīrah).

    • Perbuatan ini dikategorikan sebagai al-fawāḥish (perbuatan keji) dalam Al-Qur’an.


🕌 Bagian 4 – Metode Para Sahabat dan Tabi’in dalam Berfatwa

  1. Kehati-hatian Para Sahabat

    • Para sahabat Nabi ﷺ memiliki rasa takut yang besar untuk berfatwa tanpa ilmu.

    • Banyak dari mereka enggan memberi jawaban cepat; bahkan terkadang mereka saling melempar pertanyaan kepada sahabat lain.

    • Contoh: Abdullah bin Umar radhiyallāhu ‘anhumā pernah berkata, “Engkau ingin menjadikan kami jembatan menuju neraka?” ketika diminta fatwa.

  2. Tiga Tingkatan Sahabat dalam Berfatwa

    • Banyak berfatwa (al-mubtsirūn): Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‘ud, Aisyah radhiyallāhu ‘anhum, dan Ibn Abbas.

    • Sedikit berfatwa (al-muqillūn): Abu Bakar ash-Shiddiq, Utsman bin Affan.

    • Jarang sekali berfatwa: Sebagian sahabat yang sangat berhati-hati dan hanya memberi fatwa dalam beberapa kasus saja.

  3. Metode Mereka dalam Menentukan Hukum

    • Mengacu langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

    • Jika tidak menemukan dalil eksplisit, mereka berijtihad dengan kaidah syar’i yang kuat.

    • Selalu siap merevisi pendapat jika ada dalil yang lebih kuat.

  4. Sikap Para Tabi’in

    • Para tabi’in mewarisi kehati-hatian ini dari sahabat.

    • Mereka sering menolak menjawab sampai benar-benar yakin akan dalil yang mendukung fatwanya.


⚖️ Bagian 5 – Hukum Iftā’ dan Istiftā’

  1. Hukum Memberi Fatwa (Iftā’)

    • Asalnya, memberi fatwa adalah fardhu kifayah — kewajiban kolektif yang jika sudah dilakukan oleh sebagian orang yang ahli, gugurlah kewajiban dari yang lain.

    • Namun, bagi seseorang yang memenuhi syarat dan ditanya tentang hukum yang ia ketahui secara yakin, maka menjawabnya bisa menjadi fardhu ‘ain (wajib individu).

    • Sebaliknya, jika tidak memenuhi syarat, maka haram baginya memberikan fatwa.

  2. Hukum Meminta Fatwa (Istiftā’)

    • Meminta fatwa adalah perkara yang dianjurkan ketika seseorang menghadapi masalah hukum yang tidak ia ketahui.

    • Dalil: Firman Allah ﷻ:

      فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
      (“Maka bertanyalah kepada ahlul dzikr jika kalian tidak mengetahui.”) — QS. An-Nahl: 43

    • Kewajiban penanya adalah memilih orang yang ahli, terpercaya, dan dikenal keilmuannya.

  3. Adab dalam Meminta Fatwa

    • Menjelaskan masalah dengan jelas dan jujur.

    • Tidak menyembunyikan fakta yang relevan.

    • Tidak mencari-cari fatwa yang sesuai hawa nafsu (tatabbu‘ al-rukhaṣ).

  4. Larangan Mengikuti Fatwa Tanpa Tahu Kredibilitasnya

    • Tidak boleh mengambil fatwa hanya karena popularitas mufti atau karena banyak orang mengikutinya.

    • Ukuran kebenaran fatwa adalah dalil yang sahih, bukan jumlah pengikut.


📚 Bagian 6 – Syarat-Syarat Mufti

  1. Syarat Ilmiah

    • Menguasai Al-Qur’an beserta tafsirnya, terutama ayat-ayat hukum.

    • Menguasai Hadits beserta pemahaman sanad dan matannya, khususnya hadits-hadits hukum.

    • Memahami Ijma’ (kesepakatan ulama) dan perbedaan pendapat dalam masalah hukum.

    • Menguasai Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah istinbath hukum.

    • Menguasai Bahasa Arab secara mendalam, termasuk nahwu, sharaf, dan balaghah.

    • Mengetahui Fiqh al-Wāqi‘ (pemahaman realitas) agar fatwa relevan dengan kondisi zaman.

  2. Syarat Akhlak dan Adab

    • Memiliki ketakwaan tinggi dan keikhlasan dalam berfatwa.

    • Menjauhkan diri dari mencari popularitas atau keuntungan dunia.

    • Tidak tergesa-gesa dalam menjawab.

    • Berani menyatakan “lā adrī” (“Saya tidak tahu”) jika memang belum jelas hukumnya.

  3. Kemampuan Ijtihad

    • Hanya orang yang mencapai derajat mujtahid yang berhak berfatwa secara langsung.

    • Mereka yang belum mencapai derajat ijtihad hanya boleh menyampaikan fatwa ulama terdahulu dengan menyebutkan sumbernya, bukan mengatasnamakan fatwa pribadi.

  4. Larangan bagi yang Tidak Memenuhi Syarat

    • Orang yang berfatwa tanpa memenuhi syarat dianggap melakukan tahakkum (berbuat semena-mena) terhadap hukum Allah.

    • Peringatan keras Nabi ﷺ:

      “Siapa yang berkata tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri (tanpa ilmu), maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” — HR. Tirmidzi


🌐 Bagian 7 – Tantangan dan Fenomena Fatwa di Era Modern

  1. Perkembangan Teknologi dan Media

    • Kemajuan teknologi mempermudah penyebaran fatwa melalui televisi, radio, media cetak, dan terutama media sosial.

    • Dampak positif: Akses cepat terhadap penjelasan hukum.

    • Dampak negatif: Fatwa bisa tersebar tanpa verifikasi, sering dipenggal konteksnya, atau dipakai untuk tujuan yang tidak sesuai.

  2. Fenomena Fawḍā al-Fatāwā (Kekacauan Fatwa)

    • Muncul banyak “mufti instan” yang belum memenuhi syarat namun berani mengeluarkan fatwa.

    • Terjadi “perang fatwa” di media yang membingungkan umat karena perbedaan pendapat dipublikasikan tanpa penjelasan metodologi.

  3. Pengaruh Politik dan Kepentingan Duniawi

    • Sebagian fatwa dipengaruhi tekanan penguasa, kelompok tertentu, atau demi popularitas.

    • Hal ini menggerus kepercayaan publik terhadap otoritas fatwa.

  4. Tuntutan Kompetensi Ganda

    • Mufti di era modern harus menguasai ilmu syar’i sekaligus memahami perkembangan dunia kontemporer: hukum positif, ekonomi global, teknologi, dan sosiologi masyarakat.

  5. Pentingnya Lembaga Fatwa yang Kuat

    • Lembaga fatwa harus menjadi garda terdepan dalam mengawal keaslian dan kredibilitas fatwa.

    • Perlu sistem pelatihan dan sertifikasi mufti untuk mencegah lahirnya fatwa liar.


🤝 Bagian 8 – Tanggung Jawab Bersama dalam Menjaga Fatwa

  1. Peran Ulama dan Mufti

    • Menjaga kemurnian fatwa dari pengaruh hawa nafsu, kepentingan politik, atau tekanan pihak tertentu.

    • Membina generasi penerus mufti melalui pelatihan ilmiah, pembelajaran ushul fiqh, dan pendalaman adab berfatwa.

    • Menyampaikan fatwa dengan bahasa yang jelas, sesuai dalil, dan mempertimbangkan maqāṣid al-syarī‘ah.

  2. Peran Penuntut Ilmu

    • Memahami adab berfatwa sebelum terjun memberi fatwa.

    • Tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan hukum yang kompleks.

    • Meneliti pendapat ulama terdahulu dan memahaminya secara utuh.

  3. Peran Media

    • Memilah dan menyeleksi konten keagamaan yang akan disebarkan.

    • Menghindari penyajian fatwa yang dipotong-potong demi sensasi.

    • Memberikan ruang bagi penjelasan metodologi dan latar belakang fatwa.

  4. Peran Masyarakat

    • Memilih sumber fatwa yang terpercaya.

    • Menghindari mencari fatwa yang sesuai hawa nafsu (tatabbu‘ al-rukhaṣ).

    • Menghormati perbedaan pendapat ulama selama masih berada dalam koridor ijtihad yang benar.

  5. Pendidikan Sejak Dini

    • Menanamkan nilai ketakwaan, kehati-hatian, dan kejujuran dalam berbicara atas nama agama sejak usia dini.

    • Membiasakan adab bertanya dan berdiskusi dalam masalah hukum syar’i.