PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 04

ADAB MUSTAFTI: ETIKA BERTANYA DALAM FATWA (USHUL AL-FATWA BAGIAN 4)

Dalam tradisi Islam, meminta fatwa adalah ibadah yang sarat adab. Namun, realitas sering membalikkan wajahnya: sebagian hanya bertanya untuk mencari celah, bukan kebenaran. Maka, masihkah kita jujur pada niat kita?

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 4



PENGANTAR

Dalam melanjutkan seri kuliah Ushul al-Fatwa, sesi keempat ini menutup pembahasan penting mengenai prinsip-prinsip fatwa dengan fokus pada adab al-mustafti — yakni tata krama, kewajiban, dan sikap seorang muslim ketika meminta fatwa. Sering kali masyarakat hanya menyoroti peran mufti, padahal peminta fatwa (mustafti) juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keikhlasan niat, memilih sumber yang tepat, serta bersikap hormat kepada ulama yang ditanyai.

Materi ini menggarisbawahi bahwa bertanya tentang hukum bukanlah sekadar mencari jawaban instan, melainkan bagian dari ibadah dan cermin keimanan. Dengan memahami adab-adab yang benar — mulai dari keikhlasan, ketelitian dalam memilih mufti, hingga cara menyikapi perbedaan pendapat ulama — seorang muslim akan lebih mudah memperoleh fatwa yang bermanfaat, mengamalkannya dengan tenang, dan terhindar dari kekeliruan serta perselisihan yang tidak perlu.


📘 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Tujuan Pembahasan

Kuliah ini menutup seri pembahasan tentang prinsip-prinsip fatwa. Fokus pada sesi ini adalah Adab al-Mustafti (آداب المستفتي), yaitu etika, kewajiban, dan adab-adab yang harus diperhatikan oleh orang yang bertanya (peminta fatwa) dalam proses konsultasi hukum Islam.


🤲 Bagian 2: Adab-Adab bagi Orang yang Bertanya (Mustafti)

Adab 1: Ikhlas dalam Niat dan Pertanyaan (الإخلاص في النية والسؤال)

Penjelasan:
Seorang mustafti harus memurnikan niatnya. Tujuan bertanya hendaknya semata untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya, siap untuk tunduk dan patuh terhadap apapun jawabannya.

Larangan: Niat yang tercela dalam bertanya antara lain:

  • Ingin menjerat mufti agar melakukan kesalahan (al-Aghluthat/الأغلوطات).

  • Ingin menyulut pertentangan antar ulama.

  • Mencari-cari rukhsah (keringanan) yang sesuai hawa nafsunya, bukan mencari kebenaran.

Landasan Iman:
Sikap ini merupakan cerminan dari keimanan, sebagaimana firman Allah:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa’: 65)

Prinsip Keyakinan:
Seorang muslim harus yakin bahwa setiap perintah Allah mengandung maslahat dan setiap larangan-Nya mengandung mafsadat, baik yang dia ketahui maupun tidak.


Adab 2: Bersikap Selektif dan Teliti dalam Memilih Mufti (الاجتهاد والتحري في سؤال أهل العلم)

Penjelasan:
Seorang mustafti wajib memilih dan memastikan bahwa yang dia tanyai adalah ahli ilmu yang memenuhi syarat, bukan orang awam atau yang tidak dikenal kapabilitas keilmuannya.

Landasan:
Perintah Allah dalam QS. Al-Anbiya’: 7:

فاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahli dzikir) jika kamu tidak mengetahui."

Perbandingan:
Seseorang biasanya sangat teliti dan selektif ketika mencari partner bisnis atau dokter untuk urusan dunia. Maka, untuk urusan agama yang lebih berharga, harusnya lebih selektif lagi.

Nasihat Imam Muhammad bin Sirin:
"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian."

Kriteria Memilih Mufti:

  • Jangan tertipu oleh gelar, jabatan, atau popularitas.

  • Yang penting adalah kualifikasi keilmuan dan sifat amanah (al-‘adalah).

  • Seorang profesor tafsir belum tentu ahli dalam bidang fikih muamalah kontemporer.

Cara Mengetahui Seorang Mufti:
Bisa melalui testimoni (khabar) dari orang-orang yang terpercaya dan berilmu, atau melalui indikasi-indikasi (qara’in) seperti karya tulis, pengakuan komunitas ilmiah, atau rekomendasi.

Hukum Asal:
Jika tidak ada indikasi cacat, maka hukum asal seorang muslim (terlebih ahli ilmu) adalah al-‘adalah (terpercaya), sehingga boleh bertanya kepadanya.


Adab 3: Tidak Harus Bertanya kepada Mufti yang Paling Alim (لا يلزمه سؤال الأعلم والأفضل)

Penjelasan:
Seorang awam tidak diwajibkan untuk mencari dan bertanya kepada mufti yang paling alim (al-a‘lam) atau yang paling utama (al-afdhal). Dia boleh bertanya kepada mufti mana pun yang telah diketahui memenuhi syarat keilmuan dan keadilan.

Alasan:
Perintah Allah dalam ayat fas’alu ahladz-dzikri bersifat umum, tidak mensyaratkan yang paling alim. Selain itu, orang awam biasanya tidak memiliki kemampuan untuk membedakan siapa yang paling alim.

Sejarah:
Pada zaman Nabi ﷺ, para sahabat biasa bertanya kepada sahabat lain yang berilmu, meskipun Nabi ﷺ sendiri ada di tengah-tengah mereka, dan hal itu tidak dilarang.


Adab 4: Beradab dalam Bertanya dan Bermuamalah dengan Mufti (الأدب في مخاطبة أهل العلم)

Penjelasan:
Seorang mustafti harus menghormati dan beradab sopan terhadap mufti, karena hal itu merupakan bentuk penghormatan terhadap ilmu dan syariat yang dibawanya.

Landasan (Hadits Nabi ﷺ):

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا قَدْرَهُ
"Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan mengetahui hak (menghormati) orang alim." (HR. Ahmad, dihasankan oleh banyak ulama)

Bentuk Adab:

  • Gunakan bahasa yang santun: hindari kata-kata yang kasar, menggurui, atau merendahkan.

  • Sampaikan pertanyaan dengan jelas: gunakan istilah yang tepat agar mufti tidak salah paham. Jangan menyalahkan mufti jika jawabannya tidak sesuai ekspektasi, karena bisa jadi pertanyaannya yang kurang jelas.

  • Hormati jawabannya: terima jawaban dengan baik dan berprasangka baik (husnuzhan) terhadap mufti.


Adab 5: Kewajiban dan Keharusan Mengamalkan Fatwa dalam Kondisi Tertentu (لزوم العمل بالفتوى)

Seorang mustafti tidak serta-merta terikat untuk mengamalkan fatwa pertama yang dia dapat. Dia boleh bertanya kepada mufti lain. Namun, ada tiga kondisi dimana dia wajib mengamalkan sebuah fatwa:

  1. Jika Seluruh Mufti Sepakat (Ijma’):
    Jika semua ulama atau mufti yang dia tanyai memberikan jawaban yang sama (ijma’), maka dia wajib mengamalkannya. Keluar dari ijma’ berarti mengikuti hawa nafsu.

  2. Jika Tidak Ada Mufti Lain yang Dapat Dijangkau:
    Jika dia hanya memiliki akses kepada satu mufti dan tidak mampu (karena keterbatasan sarana atau lainnya) untuk menanyakan kepada mufti lain, maka dia wajib mengamalkan fatwa mufti yang ada itu untuk keluar dari belenggu hawa nafsu.

  3. Jika Hatinya Telah Condong dan Yakin dengan Sebuah Fatwa:
    Jika setelah bertanya dan meneliti, hatinya condong dan meyakini bahwa suatu pendapat itulah yang benar dan sesuai dengan syariat, maka dia wajib mengamalkannya. Seorang mukallaf dituntut untuk mengikuti ghalabatuzh-zhann (dugaan kuat) dalam beribadah.


Adab 6: Menyikapi Perbedaan Pendapat Antar Mufti (إذا اختلفت الأجوبة)

Penjelasan:
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama dalam masalah ijtihadiyyah adalah hal yang wajar dan alamiah, bukan indikasi hawa nafsu atau main-main dalam agama.

Sebab Perbedaan:
Perbedaan ini timbul karena perbedaan sudut pandang, penekanan dalil, atau metode istinbath (pengambilan hukum) yang digunakan.

Analogi:
Seperti perbedaan diagnosis atau resep dari beberapa dokter untuk satu penyakit yang sama. Pasien yang bijak akan membandingkan, berkonsultasi, dan memilih yang paling meyakinkan.

Sejarah:
Para sahabat Nabi ﷺ, meski mereka adalah generasi terbaik, juga berbeda pendapat dalam banyak masalah, seperti dalam memahami perintah Nabi dalam Perang Bani Quraizhah ("Janganlah shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah"), atau dalam masalah waris yang sangat detail.

Langkah yang Harus Diambil Mustafti:

  • Pendapat Pertama (Mayoritas Ulama): Dia boleh memilih (at-takhyir/التخيير) salah satu pendapat yang ada, asalkan bukan didasari hawa nafsu, tetapi dengan niat mencari yang paling dekat dengan kebenaran.

  • Pendapat Kedua: Dia harus mentarjih (at-tarjih/الترجيح) atau menguatkan salah satu pendapat berdasarkan kemampuannya. Dia bisa membandingkan, beristikharah, dan berkonsultasi hingga hatinya tenang dengan satu pendapat.

Prinsip Penting:
Dalam masalah khilafiyah ijtihadiyyah, tidak boleh saling mengingkari (la inkara fi masail al-ijtihadiyyah/لا إنكار في مسائل الاجتهاد). Setiap pihak menghormati pilihan orang lain selama masih dalam koridor pendapat yang diakui dalam syariat.


🎯 Bagian 3: Aplikasi Praktis dan Tanya Jawab

1. Tingkatan Orang yang Memberi Fatwa dalam Masyarakat

Syaikh menjelaskan bahwa dalam masyarakat, terdapat tingkatan orang yang terkait dengan fatwa:

  • الفقيه المؤهل (Al-Faqih al-Mu’ahhal): Ulama yang memenuhi semua syarat ijtihad dan memiliki malakah fiqhiyah (kompetensi fikih yang mumpuni). Mereka adalah mufti sejati yang boleh dan harus memberikan fatwa.

  • طالب العلم المجتهد جزئياً (Thalibul ‘Ilm al-Mujtahid Juz’iyan): Penuntut ilmu yang memiliki kemampuan ijtihad parsial pada masalah-masalah tertentu yang telah dia pelajari mendalam. Dia boleh berfatwa hanya dalam bidang keahliannya tersebut.

  • الناقل (An-Naqil): Orang yang tidak memenuhi syarat untuk berfatwa. Perannya hanyalah menukil (menyampaikan) fatwa dari mufti yang sah yang dia ketahui. Dia harus berkata, "Saya mendengar Syaikh Fulan berfatwa tentang ini begini...", bukan memberikan fatwa dari dirinya sendiri.

2. Simulasi dan Evaluasi Praktis

Syaikh mengusulkan dua metode aplikasi:

  • Analisis Kasus: Menganalisis contoh fatwa yang sudah ada untuk dinilai dari segi bentuk, format, dan penerapan adab-adab yang telah dipelajari (bukan menilai kesimpulan hukumnya).

  • Simulasi Langsung: Beberapa peserta berperan sebagai mustafti (yang harus menerapkan adab bertanya) dan mufti (yang harus menerapkan adab menjawab), sementara peserta lain menjadi panel yang mengevaluasi penampilan keduanya.


❓ Bagian 4: Sesi Tanya Jawab (Pertanyaan dan Jawaban Lengkap)

Pertanyaan dari Audiens:
"Apa pendapat Anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh mufti yang diangkat oleh penguasa (الحاكم)? Bagaimana hukumnya? Kami mengetahui betapa agungnya kedudukan seorang penguasa dalam Islam. Penguasa adalah poros persatuan. Jika fatwa datang dari mufti yang diangkatnya, bukankah itu membawa dampak yang sangat besar? Kita telah melihat dalam sejarah, fatwa-fatwa besar yang mengubah keadaan umat karena mufti terikat dengan penguasa."

Jawaban Lengkap Syaikh:
Syaikh menjawab pertanyaan ini dengan sangat hati-hati dan detail, memberikan perspektif yang seimbang:

  1. Prinsip Dasar Kewenangan Penguasa:
    Seorang pemimpin (al-imam atau al-hakim) memang memiliki kewajiban untuk mengawasi (الإشراف) dan mengatur (المراقبة) seluruh urusan kemaslahatan umat, tidak terkecuali bidang fatwa. Ini adalah bagian dari tanggung jawabnya yang diamanahkan. Kebijakannya (tasharruf al-imam) harus selalu dilandasi oleh maslahat syar’iyyah.

  2. Bentuk Pengawasan yang Benar:
    Kewajiban penguasa dalam konteks fatwa termasuk:

    • Memastikan tidak ada fatwa menyimpang (shadhah) yang dapat menyesatkan umat.

    • Mencegah orang yang tidak memenuhi syarat untuk menyebarkan fatwa yang tidak bertanggung jawab.

    • Menjaga agar fatwa tidak menjadi sumber fitnah dan perpecahan di masyarakat.
      Bahkan, syaikh menyetujui bahwa memiliki mufti resmi atau lembaga fatwa yang diakui negara adalah sesuatu yang baik dan penting untuk menjaga keteraturan.

  3. Batas Wewenang yang Tidak Boleh Dilewati:
    Syaikh menekankan dengan sangat tegas bahwa wewenang penguasa hanya pada aspek administratif dan pengawasan keamanan nasional, BUKAN pada substansi dan hasil ijtihad keagamaan.

    • Seorang pemimpin tidak boleh memerintahkan, memengaruhi, atau memaksa seorang mufti untuk mengubah fatwanya sesuai dengan keinginan politik atau kebijakan duniawinya.

    • Seorang mufti, meskipun diangkat oleh negara, wajib menjaga independensi keilmuannya. Kewajiban tertingginya adalah kepada Allah dan kebenaran dalil, bukan kepada penguasa.

    • Sejarah telah mencatat banyak contoh di mana para ulama menentang penguasa yang zalim ketika diminta untuk mengeluarkan fatwa yang bathil.

  4. Menyikapi Penguasa yang Baik dan yang Jahat:

    • Jika penguasanya adil dan shaleh, maka kerja sama yang harmonis antara mufti dan penguasa akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar bagi agama dan umat. Fatwa dapat didukung dan disebarluaskan untuk kebaikan bersama.

    • Namun, jika penguasanya fasiq atau zalim, maka seorang mufti harus sangat berhati-hati. Mendekati penguasa seperti ini bagai memegang bola api; bisa membakar dirinya sendiri. Fatwa yang dikeluarkan di bawah tekanan penguasa yang zalim seringkali menjadi penyebab malapetaka dan perpecahan besar dalam umat.

  5. Kesimpulan:
    Relasi antara penguasa dan mufti adalah relasi yang rumit dan penuh tantangan. Seorang mufti harus bijaksana.

    • Di satu sisi, dia tidak boleh menghindar dari peran untuk menasihati penguasa dan mengarahkannya kepada kebenaran (amar ma‘ruf nahi munkar).

    • Di sisi lain, dia harus menjaga kemandirian fatwanya dan tidak boleh menjual agamanya untuk dunia penguasa.
      Otonomi keilmuan dan integritas moral mufti adalah harga mati yang harus dijaga.


💎 Ringkasan Akhir (Key Takeaways)

  • Niat adalah Segalanya: Sebelum bertanya, benahi niat. Tujuannya adalah mencari kebenaran, bukan membenarkan keinginan sendiri.

  • Pilih Mufti yang Tepat: Bertanyalah kepada orang yang benar-benar ahli ilmu dan dikenal amanah. Jangan asal tanya kepada siapa pun.

  • Bersikap Santun: Hormati mufti dan beradablah dalam bertanya.

  • Fatwa Mengikat dalam Kondisi Tertentu: Fatwa menjadi wajib diikuti dalam tiga kondisi: Ijma’, tidak ada akses ke mufti lain, atau keyakinan hati.

  • Bijak Menyikapi Perbedaan: Hadapi perbedaan pendapat ulama dengan bijak, lakukan tarjih, dan hindari saling mengingkari dalam masalah ijtihadiyyah.

  • Kenali Peran Anda: Masyarakat awam harus tahu perbedaan antara mufti ahli, penuntut ilmu spesialis, dan sekedar penyampai fatwa.

  • Peran Negara adalah Mengawasi, BUKAN Mengintervensi: (Point yang diperkuat oleh Q&A) Negara bertugas menciptakan ekosistem fatwa yang sehat dan mencegah penyimpangan. Namun, seorang mufti, baik yang diangkat negara maupun tidak, harus tetap independen dan tidak boleh didikte oleh penguasa dalam masalah hukum agama. Integritasnya terhadap kebenaran dalil adalah yang utama.


Wallahu a‘lam bish-shawab.