Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 4
Pengantar: Di Balik Setiap "Bolehkah?" –
Mengurai Etika Meminta Fatwa dalam Gelombang Informasi Agama
Apakah kita sedang mencari kebenaran, atau sekadar
pembenaran?
Pertanyaan ini mungkin terasa menusuk, tetapi inilah
pertanyaan kritis yang harus kita hadapi di era diantara banjirnya informasi
keagamaan. Setiap hari, melalui genggaman tangan, kita disuguhi berbagai
pendapat, fatwa, dan jawaban atas persoalan hidup dari sumber yang tak
terhitung jumlahnya. Dalam situasi seperti ini, fokus kita sering kali tertuju
pada siapa yang berhak memberi fatwa dan apa isi
fatwanya. Namun, ada pihak ketiga yang justru paling menentukan sah
tidaknya proses ini, namun sering luput dari perhatian: kita sendiri,
sebagai peminta fatwa.
Kita dengan mudahnya mengkritik seorang mufti yang dianggap
salah, tetapi sejauh mana kita telah mengintrospeksi cara kita bertanya, niat
di balik pertanyaan kita, dan bagaimana kita menyikapi jawaban yang
tidak sesuai ekspektasi? Apakah kita telah menjadi pencari ilmu yang
rendah hati, atau justru konsumen fatwa yang rewel dan hanya
mencari yang enak didengar?
Kuliah Syaikh Dr. Musthafa bin Karamahullah Makhdum ini
menelanjangi secara tajam dan mendalam sisi kelam yang sering kita
abaikan: Adab al-Mustafti (Etika Peminta Fatwa). Ini bukan
sekadar tutorial sopan santun, melainkan sebuah disertasi ringkas tentang psikologi
pencarian kebenaran dalam Islam. Materi ini memaksa kita untuk
bercermin:
- Apakah
kita bertanya untuk tunduk pada hukum Allah, atau untuk menjinakkan hukum
Allah agar tunduk pada selera kita?
- Apakah
kita memilih mufti berdasarkan kapasitas keilmuannya, atau berdasarkan
popularitas dan gelarnya yang mentereng?
- Ketika
fatwa dari dua ulama shaleh bertolak belakang, apakah kita melihatnya
sebagai khazanah keluwesan fiqih, atau justru sebagai bukti bahwa agama
ini relatif dan bisa kita pilah-pilih sesuka hati?
Persiapkan diri Anda untuk menggugat paradigma Anda sendiri.
Kuliah ini akan membawa kita menyelami landasan teologis dari sikap taslim (pasrah),
mengurai prinsip husnuzhan (berprasangka baik) yang ternyata
adalah kewajiban, dan membongkar mitos bahwa seorang awam boleh bersikap pasif
dan ceroboh dalam mencari fatwa.
Bersiaplah untuk menemukan bahwa dalam setiap pertanyaan
"Bolehkah?" yang kita lontarkan, tersimpan ujian keimanan yang jauh
lebih besar daripada sekadar menunggu jawaban "boleh" atau
"tidak". Selamat menyelami proses mengaudit niat dan merevolusi
adab kita dalam mencari ilmu agama.
Rangkuman Kuliah: Adab dan Hukum bagi Mustafti (Peminta
Fatwa)
Pemateri: الشيخ الدكتور مصطفى بن كرامة الله مخدوم
(Asy-Syaikh Dr. Musthafa bin Karamahullah Makhdum)
Bagian 1: Pendahuluan dan Prinsip Dasar
[00:00 - 01:16]
- Pembuka
Doa: Kuliah dimulai dengan doa memohon ilmu yang bermanfaat, amal
yang diterima, perbaikan niat, keturunan, dan akhir hidup yang baik
(husnul khatimah).
- Topik
Bahasan: Kuliah ini merupakan kelanjutan dari pembahasan Adab
al-Fatwa (Etika Berfatwa) dan akan fokus pada aspek terakhir,
yaitu Adab al-Mustafti (Etika bagi Peminta Fatwa). Ini
mencakup hukum syar'i dan norma etika yang harus diperhatikan oleh orang
yang mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti.
- Kunci
Kesuksesan: Keberhasilan dan kebermanfaatan proses fatwa
bergantung pada komitmen kedua belah pihak:
- Mustafti: Mematuhi
tata cara dan adab dalam menyusun pertanyaan.
- Mufti: Mematuhi
prinsip-prinsip dan hukum (ushul wa ahkam) fatwa yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Bagian 2: Adab Pertama: Ikhlas dan Niat yang Benar
[01:16 - 05:55]
- Poin
Utama: Ikhlas (kejujuran dan kemurnian hati) hanya
karena Allah SWT merupakan landasan utama segala amal, termasuk dalam
meminta fatwa.
- Dasar
Teologis:
- Hadits: Rasulullah
SAW bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Muttafaqun 'Alaih/Disepakati Kesahihannya).
- Ulama
sering memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini untuk menekankan
pentingnya niat.
- Bentuk
Penyimpangan Niat yang Dilarang:
- Mengincar
Kesalahan Mufti (الأغلوطات
/ al-aghluthat): Bertanya dengan maksud menjerat atau
menjatuhkan mufti ke dalam kesalahan. Ini dilarang berdasarkan hadits
Nabi yang melarang aghluthat (pertanyaan-pertanyaan
menjebak).
- Memecah
Belah Pendapat Ulama: Bertanya untuk menyelisihkan atau mengadu
domba pendapat para ulama.
- Mencari
Pembenaran Hawa Nafsu (رُخصة / rukhsah): Hanya mencari
fatwa yang longgar dan sesuai dengan keinginan pribadi, bukan mencari
kebenaran.
- Pamer
Ilmu (إظهار
العضلات العلمية / izhhar al-'adhalat al-'ilmiyyah): Bertanya
dengan gaya seolah-olah sedang memberi ceramah, bukan untuk belajar, dan
hanya ingin mufti menyetujui pendapatnya sendiri.
- Tujuan
yang Benar: Tujuan meminta fatwa haruslah untuk mengetahui hukum
Allah dan Rasul-Nya dalam suatu masalah dan bersiap secara psikologis
untuk tunduk dan pasrah (تسليم / taslim) sepenuhnya pada hukum
syariat. Ini adalah bukti keimanan, sebagaimana firman Allah SWT:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (QS. An-Nisa': 65)
- Ringkasan
Bagian 2: Seorang mustafti wajib membersihkan niatnya, memerangi
penyakit hati, dan menjadikan tujuan utamanya adalah mencari keridhaan
Allah dan kebenaran hukum, bukan memuaskan hawa nafsu.
Bagian 3: Adab Kedua: Seleksi dan Kehati-hatian dalam
Memilih Mufti
[06:26 - 13:24]
- Poin
Utama: At-Taharri (bersikap selektif dan teliti)
dalam memilih siapa yang akan ditanya adalah kewajiban mustafti.
- Dasar
Syar'i: Perintah Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahlu
adz-dzikr) jika kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Anbiya': 7). Ayat
ini menunjuk ahlu al-'ilmi (orang yang berilmu) sebagai
rujukan, bukan sembarang orang.
- Kesalahan
Umum: Banyak orang yang sangat hati-hati dalam urusan dunia
(seperti bisnis) tetapi ceroboh dalam urusan agama, seperti bertanya
kepada orang awam, penjaga parkir, atau polisi di sekitar Masjidil Haram
tentang masalah hukum yang kompleks.
- Prinsip
Seleksi:
- Bertanya
kepada Ahlinya: Wajib bertanya kepada Ahl al-'Ilmi wa
al-Fatwa (orang yang memiliki ilmu dan kapasitas fatwa).
- Tidak
Terpaku pada Gelar dan Jabatan: Jabatan resmi (seperti menteri
agama, rektor) atau gelar akademis tidak serta-merta menjadikan seseorang
ahli dalam berfatwa. Kapasitas ilmu dan kedalaman pemahaman fiqih (al-malakah
al-fiqhiyyah) yang utama.
- Menggunakan
Indikasi dan Tanda (القرائن والأمارات / al-qara'in wa al-amarat): Seorang
awam boleh bertanya berdasarkan indikasi yang kuat, seperti rekomendasi
dari orang-orang yang terpercaya dan shaleh, reputasi, atau pengakuan
dari ulama lain (seperti testimoni 70 ulama Madinah untuk Imam Malik).
- Asumsi
Dasar (Hukum Asal):
- Tentang
Ilmu: Asal setiap manusia adalah bodoh.
- Tentang
Keadilan ('Adalah): Asal seorang muslim, khususnya yang dikenal
sebagai ahli ilmu, adalah adil. Jika tidak ada bukti jelas tentang
ketidakadilannya, seorang mustafti boleh bertanya kepadanya.
- Tidak
Wajib Meminta yang Paling Alim: Seorang mustafti tidak
diwajibkan untuk selalu mencari ulama yang paling alim
(a'lam) atau paling utama (afdhal). Ia boleh bertanya
kepada ulama yang level ilmunya di bawahnya (al-mafdhul), asalkan
telah memenuhi syarat dasar sebagai mufti (berilmu dan adil). Ini karena:
- Perintah
dalam ayat adalah umum: "bertanyalah kepada ahlu adz-dzikr".
- Para
sahabat Nabi pun bertanya kepada siapa saja di antara mereka yang
berilmu, meskipun Nabi SAW sendiri ada di tengah-tengah mereka.
- Orang
awam kesulitan membedakan tingkat kealiman para ulama.
Bagian 4: Adab Ketiga: Beradab dalam Bertanya dan
Menerima Fatwa
[15:50 - 19:44]
- Poin
Utama: Setelah menemukan mufti yang kompeten, mustafti wajib
menjaga adab dalam berinteraksi, baik dalam cara bertanya
maupun dalam menyikapi jawaban.
- Dasar
Syar'i: Hadits Rasulullah SAW:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
"Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih
tua, menyayangi yang lebih muda, dan mengerti hak orang yang berilmu di antara
kami." (HR. Ahmad dan lainnya, dinilai Hasan oleh
banyak ulama).
- Bentuk
Adab:
- Dalam
Bertanya:
- Menggunakan
bahasa dan pilihan kata yang santun dan jelas.
- Menghindari
sikap kasar, menggurui, atau kata-kata yang mengandung tuduhan terhadap
ilmu, akal, atau pertimbangan mufti.
- Menyusun
pertanyaan dengan baik agar tidak menimbulkan misinterpretasi. Jika
jawaban tidak sesuai, jangan langsung menyalahkan mufti dengan berkata
"Anda salah paham", tetapi introspeksi apakah pertanyaannya
yang kurang jelas.
- Dalam
Menerima Jawaban:
- Berprasangka
Baik (Husnuzhan): Wajib berprasangka baik terhadap fatwa yang
diberikan selama kata-katanya masih mengandung kemungkinan makna yang
benar.
- Memberikan
Interpretasi Terbaik: Selama memungkinkan, maknai perkataan
mufti pada makna yang paling baik dan benar.
- Ulama
mengatakan: "Wajib dalam masalah hukum yang musykil (rumit)
untuk berprasangka baik kepada ahli ilmu." Ini lebih
ditekankan lagi karena ulama adalah pewaris Nabi.
- Ringkasan
Bagian 4: Beradab kepada mufti pada hakikatnya adalah beradab
kepada syariat yang dibawanya. Adab ini mencakup seluruh proses interaksi,
dari awal bertanya hingga menerima jawaban.
Bagian 5: Hukum Mengamalkan Fatwa dan Menanyakan ke
Beberapa Mufti
[19:44 - 24:48]
- Pertanyaan
Kritis: Apakah seorang mustafti wajib mengamalkan
satu fatwa yang diterimanya? Atau bolehkah ia menanyakan masalah yang sama
kepada mufti lain?
- Jawaban
Inti: Secara umum, mustafti tidak terikat (لا يلزمه
/ la yalzamuhu) untuk mengamalkan satu fatwa tertentu. Ia boleh (يجوز
/ yajuz) untuk menanyakan masalah yang sama kepada mufti lainnya.
- Alasan: Allah
tidak mewajibkan umat untuk merujuk kepada satu orang tertentu setelah
Rasulullah SAW, tetapi kepada para ulama secara kolektif.
- Syarat
Bertanya ke Mufti Lain: Niatnya harus tetap mencari kebenaran (الوصول
إلى حكم الله ورسوله), bukan sekadar "belanja
fatwa" (التفتيش
عن الرخصة / at-taftisy 'an ar-rukhshah) untuk mencari yang
paling sesuai hawa nafsu.
- Pengecualian
(Kapan Fatwa Menjadi Wajib Diamalkan):
- Ijma'
(Konsensus Ulama): Jika semua ulama sepakat (اتفق
المفتون) pada satu fatwa, maka itu wajib
diamalkan. Keluar dari ijma' berarti mengikuti hawa nafsu. Ijma' adalah
hujjah (dalil) yang sangat kuat.
- Ketidakmampuan
Mengakses Mufti Lain: Jika mustafti tidak memiliki sarana atau
kemampuan untuk bertanya kepada mufti lain, maka ia wajib mengamalkan
fatwa yang telah didapatkannya. Tidak mengamalkannya berarti jatuh kepada
hawa nafsu.
- Keyakinan
Hati (غلب
على ظنه / ghalaba 'ala zhannihi): Jika setelah mendengar
fatwa, hatinya condong dan meyakini bahwa itulah kebenaran dan hukum
Allah yang sesungguhnya, maka ia wajib mengikutinya. Seorang mukallaf
dituntut untuk mengikuti keyakinan (zhann) yang kuat dalam masalah
syariat.
Bagian 6: Menyikapi Perbedaan Pendapat antar Mufti
[24:48 - 35:50]
- Fenomena
Normal: Perbedaan pendapat (اختلاف الأجوبة
/ ikhtilaf al-ajwibah) di antara para fuqaha (ahli fiqih) adalah hal
yang wajar dan telah terjadi sejak zaman sahabat.
- Penyebab
Perbedaan: Perbedaan ini bersumber dari:
- Perbedaan
sudut pandang (اختلاف
النظر / ikhtilaf an-nadhar) dalam memahami dalil.
- Perbedaan
dalam metode pengambilan hukum (اجتهاد / ijtihad).
- Bukan
berasal dari hawa nafsu atau main-main dengan syariat.
- Contoh
Konkret:
- Kisah
Sahabat: Perbedaan pendapat para sahabat dalam memahami perintah
Nabi "Janganlah shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah". Sebagian memahami secara literal (harfiah) dan shalat
setelah waktu habis, sebagian lain memahami perintah untuk bersegera dan
shalat di jalan sebelum waktu habis. Nabi SAW membenarkan kedua kelompok.
- Analogiasi
Dunia Medis: Para dokter juga sering berbeda pendapat dalam
diagnosis dan penanganan suatu penyakit. Perbedaan di kalangan ulama
adalah hal yang sama wajar dan manusiawi.
- Langkah
bagi Mustafti Awam:
Jika mendapat jawaban yang berbeda-beda dan ia bukan ahli ijtihad, ada dua pendapat ulama:
- Pendapat
Pertama: At-Takhyir (Memilih). Ia boleh memilih salah satu
pendapat yang ada, bukan berdasarkan hawa nafsu, tetapi
setelah melakukan pertimbangan (ترجيح / tarjih)
sebatas kemampuannya.
- Pendapat
Kedua: At-Tarjih (Memilih yang Terkuat). Ia harus berusaha
membandingkan dan memilih pendapat yang paling kuat menurutnya.
- Proses
yang Harus Dilakukan: Mustafti harus:
- Merenungkan
dan membandingkan (يتأمل
ويقارن / yata'amalu wa yuqarin) fatwa-fatwa tersebut.
- Bermusyawarah
dan meminta pendapat (يشاور / yusyawir).
- Melakukan
shalat istikharah (يستخير
/ yastakhir).
- Mengikuti
pendapat yang membuat hatinya paling tenang dan yakin bahwa itulah yang
paling dekat dengan maksud syariat.
- Larangan: Dilarang
keras mengingkari (ينكر
/ yankir) orang lain yang mengamalkan pendapat ulama yang berbeda,
selama perbedaan tersebut terjadi dalam ranah masalah ijtihadiyyah (yang
tidak ada dalil qath'i/pasti di dalamnya) dan masing-masing pendapat
memiliki dasar.
- Kaidah
Penting: لا
إنكار في مسائل الاجتهاد ("Tidak
boleh mengingkari (sesama muslim) dalam masalah-masalah ijtihadiyyah").
Bagian 7: Penutup, Saran, dan Sesi Tanya Jawab (Simulasi)
[35:50 - 43:45]
- Penutup
Materi: Pemateri menutup rangkaian adab mustafti dan menyarankan
para pendengar untuk memperdalam materi ini melalui referensi-referensi
yang disebutkan di awal modul.
- Rencana
Sesi Praktik: Pemateri mengusulkan sesi praktik dimana:
- Beberapa
peserta akan berperan sebagai mustafti dan mufti, menerapkan adab-adab
yang telah dipelajari.
- Peserta
lain akan mengevaluasi penampilan mereka dari segi penerapan adab, bukan
dari sisi kebenaran ilmiah fatwanya.
- Sesi
Tanya Jawab (Cuplikan):
- Pertanyaan: "Apa
hukum seorang mufti yang dekat dengan penguasa (الحاكم / al-hakim)?"
- Jawaban
Inti:
- Jika
Penguasa Shalih: Hubungan baik antara mufti dan penguasa yang
shalih justru dapat sangat menguntungkan dakwah Islam dan penyebaran
sunnah, karena penguasa memiliki kekuasaan dan sumber daya.
- Jika
Penguasa Zalim/Fasik: Ini adalah situasi yang sangat berbahaya.
Seorang mufti bisa terjerumus untuk memberikan fatwa yang membenarkan
kezaliman penguasa, yang akan memikul dosa besar dan menyesatkan umat.
- Peran
dan Batasan Penguasa: Wewenang penguasa adalah dalam mengawasi
dan mengatur (الإشراف والمراقبة / al-isyraf wa
al-muraqabah) lembaga fatwa untuk memastikan tidak ada fatwa
menyimpang yang disebarkan oleh orang yang tidak berkompeten. Ini adalah
kewajiban siyasah syar'iyyah (politik syar'i)-nya.
Namun, penguasa tidak boleh campur tangan dalam
kandungan fatwa itu sendiri (mengharamkan yang halal atau sebaliknya).
Ketaatan kepada penguasa hanya dalam hal ketaatan kepada Allah.
- Akhir
Kuliah: Kuliah ditutup dengan salam.
Ringkasan Keseluruhan (Kesimpulan)
Kuliah ini secara komprehensif membahas etika (adab)
yang harus dimiliki oleh seorang mustafti (peminta fatwa).
Poin-poin utamanya adalah:
- Niat
yang Ikhlas: Landasan utama adalah mencari keridhaan Allah dan
kebenaran hukum, bukan kesenangan pribadi, pamer, atau menjatuhkan mufti.
- Selektif
dalam Memilih Mufti: Wajib bertanya kepada ahli ilmu yang
memenuhi syarat (berilmu dan adil), berdasarkan indikasi dan rekomendasi
yang dapat dipercaya, bukan berdasarkan gelar atau jabatan.
- Beradab
dalam Berinteraksi: Menghormati mufti, bertanya dengan santun dan
jelas, serta berprasangka baik terhadap fatwanya.
- Kebebasan
dan Tanggung Jawab: Mustafti tidak terikat mutlak pada satu fatwa
dan boleh bertanya kepada beberapa mufti, tetapi dengan niat yang benar.
Ia wajib mengamalkan fatwa dalam kondisi tertentu (ijma', tidak ada akses,
atau keyakinan hati).
- Bijak
Menyikapi Perbedaan: Memahami bahwa perbedaan pendapat ulama
adalah hal biasa, tidak mengingkari orang yang berbeda pendapat dalam
masalah ijtihadi, dan memilih pendapat dengan cara yang bertanggung jawab
(dengan tarjih atau takhyir yang bukan berdasarkan hawa nafsu).
Dengan menerapkan adab-adab ini, proses mencari fatwa
menjadi proses ibadah yang bermartabat dan mendekatkan diri kepada kebenaran
syariat Allah SWT.