Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 3
📜 Pengantar
Berfatwa bukan sekadar menjawab pertanyaan agama dengan kutipan dalil, melainkan mengemban peran sebagai tawqī‘ ‘anillāh—tanda tangan atas nama Allah ﷻ—sebagaimana dijelaskan Ibn Qayyim. Setiap kata yang diucapkan mufti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang menurunkan hukum itu. Sayangnya, di era “serba cepat” ini, fatwa kerap lahir dari ruang digital lebih cepat dari waktu seduh secangkir kopi. Ada yang dilandasi niat tulus, ada pula yang dibungkus hawa nafsu, popularitas, atau tekanan publik.
Sejarah dan adab para ulama menunjukkan bahwa fatwa tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari lautan ilmu, dibentuk oleh hati yang takut kepada Allah, dan dijaga dengan kehati-hatian yang kadang membuat seorang ulama memilih diam. Maka, memahami prinsip-prinsip iftā’, adab mufti, serta bahaya fatwa tergesa-gesa adalah kebutuhan mendesak—bukan hanya bagi para ulama, tapi juga bagi umat yang menjadi penerima fatwa. Tanpa pemahaman ini, fatwa bisa menjadi cahaya penuntun… atau bara yang membakar.
📍 Bagian 1 – Adab yang Berkaitan dengan Allah (إخلاص النية والاستعانة بالله)
-
Ikhlas dalam Niat
-
Mufti wajib memurnikan niatnya hanya untuk mencari ridha Allah ﷻ, bukan untuk kepentingan pribadi, politik, popularitas, atau keuntungan duniawi.
-
Fatwa adalah amanah besar; menyimpangkan niat berarti mengkhianati amanah tersebut.
-
-
Istiʿānah (Memohon Pertolongan Allah)
-
Dalam menghadapi persoalan hukum, mufti harus menyandarkan dirinya sepenuhnya kepada Allah ﷻ.
-
Dicontohkan oleh Ibn Taymiyyah: jika menghadapi masalah rumit, beliau akan keluar ke tempat sunyi, sujud di tanah, memohon ilham dan petunjuk dari Allah.
-
Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan fatwa bukan hanya dari kecerdasan akal, tetapi dari taufik Ilahi.
-
-
Tawadhuʿ dan Menjaga Hati dari Kesombongan
📍 Bagian 2 – Memahami Pertanyaan Sebelum Menjawab (فهم السؤال قبل الجواب)
-
Pentingnya Memahami Istilah
-
Tidak semua kata memiliki makna yang sama dalam setiap konteks.
-
Contoh: istilah “murābaḥah” dalam literatur fikih klasik berbeda dengan “murābaḥah” dalam praktik perbankan modern.
-
Kesalahan memahami makna akan menyebabkan fatwa yang salah sasaran.
-
-
Memahami Latar Belakang Penanya
-
Penting bagi mufti untuk mengenal karakter, niat, dan bahkan kemungkinan “akal licik” penanya.
-
Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat hati-hati dalam menilai niat penanya sebelum memberikan jawaban.
-
-
Menggali Informasi Kontekstual
-
Mufti sebaiknya menanyakan detail yang relevan:
-
Kondisi pelaku.
-
Situasi lingkungan.
-
Tujuan atau akibat dari tindakan yang ditanyakan.
-
-
Hal ini untuk memastikan jawaban sesuai realitas (fiqh al-wāqiʿ).
-
-
Menghindari Jawaban Umum untuk Masalah Khusus
-
Jika pertanyaan bersifat spesifik, maka jawabannya juga harus spesifik.
-
Generalisasi dapat menimbulkan kekeliruan dalam penerapan fatwa.
-
📍 Bagian 3 – Musyawarah dengan Ulama & Ahli Bidang (المشاورة مع العلماء وأهل الاختصاص)
-
Keterbatasan Ilmu Individu
-
Tidak ada satu pun ulama yang menguasai seluruh disiplin ilmu.
-
Oleh karena itu, musyawarah adalah bagian dari adab dan metode ilmiah dalam berfatwa.
-
-
Musyawarah dalam Kasus Rumit
-
Dalam perkara baru (nawāzil) atau masalah yang membutuhkan data teknis, mufti wajib mengajak diskusi ulama lain atau ahli bidang terkait.
-
Contoh: masalah medis → konsultasi dengan dokter; masalah keuangan → konsultasi dengan ekonom syariah.
-
-
Teladan dari Para Ulama Terdahulu
-
Imam Abu Hanifah memiliki majelis fatwa kolektif, di mana para murid ikut membahas dan mengkaji setiap persoalan.
-
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga melibatkan para fuqahā’ Madinah sebelum mengeluarkan keputusan hukum.
-
-
Manfaat Musyawarah
-
Mengurangi potensi kesalahan.
-
Menghasilkan fatwa yang lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
-
Menghindari subjektivitas berlebihan dari satu orang mufti.
-
📍 Bagian 4 – Menjaga Rahasia Orang (كتمان السر)
-
Larangan Membocorkan Identitas Penanya
-
Saat bermusyawarah atau meminta pendapat pihak lain, mufti dilarang menyebutkan nama atau identitas penanya tanpa izin.
-
Prinsip ini untuk melindungi kehormatan (ʿird) dan privasi penanya.
-
-
Menyamarkan Detail Kasus
-
Dalam diskusi, kasus cukup dipaparkan secara umum tanpa informasi yang bisa melacak identitas pelaku atau penanya.
-
Contoh: mengganti nama, lokasi, atau rincian tertentu yang tidak mempengaruhi hukum, tapi bisa mengungkap identitas.
-
-
Alasan Syariat Menjaga Rahasia
-
Menghindari fitnah dan prasangka buruk dari orang lain.
-
Menjaga hubungan baik antarindividu dalam masyarakat.
-
Menjaga wibawa mufti yang memegang amanah informasi.
-
-
Konsekuensi Pelanggaran
-
Membocorkan rahasia dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mufti.
-
Dalam beberapa kasus, bisa menimbulkan kerugian moral atau material bagi pihak yang rahasianya terbuka.
-
📍 Bagian 5 – Mengarahkan ke yang Lebih Bermanfaat (توجيه المستفتي إلى ما هو أنفع له)
-
Mengalihkan Fokus Penanya
-
Kadang penanya mengajukan pertanyaan yang tidak terlalu mendesak atau hanya bersifat teoretis.
-
Dalam situasi seperti ini, mufti boleh mengarahkan pembicaraan ke masalah yang lebih mendesak atau lebih bermanfaat bagi kehidupan penanya.
-
-
Memprioritaskan Masalah yang Urgen
-
Prinsip prioritas (fiqh al-awlawiyyāt): mendahulukan perkara yang lebih penting dan berdampak nyata.
-
Misalnya, jika seseorang bertanya tentang hukum perbedaan bacaan doa qunut, tetapi ia sedang bermasalah dengan utang riba, maka mufti sebaiknya mengarahkan pada penyelesaian masalah riba terlebih dahulu.
-
-
Mencontoh Metode Nabi ﷺ
-
Nabi sering mengarahkan jawaban kepada perkara yang lebih memberi manfaat jangka panjang.
-
Contoh: saat ditanya tentang jihad, beliau terkadang mengarahkan penanya untuk merawat orang tua jika itu lebih utama bagi kondisinya.
-
-
Efek Edukatif
-
Mengarahkan penanya ke masalah yang lebih bermanfaat menumbuhkan kesadaran akan prioritas dalam beragama.
-
Membantu umat memahami bahwa agama bukan hanya soal teori, tetapi juga solusi nyata bagi kehidupan.
-
📍 Bagian 6 – Menawarkan Alternatif Halal (إيجاد البدائل المباحة)
-
Prinsip Memberikan Pengganti yang Halal
-
Jika mufti memutuskan suatu praktik atau barang hukumnya haram, dianjurkan untuk menawarkan alternatif yang halal agar penanya tidak merasa buntu.
-
Hal ini sesuai dengan prinsip taysīr (memudahkan) selama tidak melanggar dalil.
-
-
Dalil dari Sunnah
-
Nabi ﷺ ketika melarang sesuatu, sering memberikan pengganti yang halal.
-
Contoh: ketika melarang minum khamr, beliau menawarkan berbagai minuman yang halal sebagai penggantinya.
-
-
Manfaat Menawarkan Alternatif
-
Mengurangi resistensi penanya terhadap hukum yang disampaikan.
-
Membantu umat beralih dari yang haram ke yang halal dengan lebih mudah.
-
Mencegah mereka mencari jalan pintas atau celah yang justru melanggar hukum syariat.
-
-
Contoh dalam Konteks Modern
-
Melarang transaksi riba → menawarkan skema pembiayaan syariah.
-
Melarang investasi haram → menunjukkan produk halal yang aman dan menguntungkan.
-
📍 Bagian 7 – Menghindari Tatabbu‘ al-Rukhaṣ (تتبع الرخص)
-
Definisi Tatabbu‘ al-Rukhaṣ
-
Mencari-cari fatwa dari berbagai ulama hanya untuk memilih pendapat yang paling ringan atau sesuai hawa nafsu, tanpa peduli dalil atau kebenaran pendapat tersebut.
-
-
Bahaya Praktik Ini
-
Menghilangkan kehormatan agama karena hukum diambil berdasarkan selera, bukan kebenaran.
-
Menjadikan syariat tampak seperti permainan yang bisa diputar sesuai keinginan manusia.
-
-
Sikap Ulama terhadap Tatabbu‘ al-Rukhaṣ
-
Mayoritas ulama memandangnya sebagai perbuatan tercela.
-
Sebagian ulama bahkan menyamakannya dengan bentuk talfīq yang terlarang (menggabungkan pendapat dari berbagai mazhab sehingga menghasilkan hukum yang tidak diakui oleh satu mazhab pun).
-
-
Contoh Konkret
-
Mengambil pendapat mazhab A untuk akad jual beli karena lebih ringan, lalu mengambil pendapat mazhab B untuk akad nikah, tanpa mempertimbangkan kesesuaian metode istinbāṭ.
-
Menggabungkan dua pendapat ringan yang saling bertentangan sehingga keluar dari semua batasan syariat.
-
-
Tanggung Jawab Mufti
-
Menjelaskan bahaya tatabbu‘ al-rukhaṣ kepada masyarakat.
-
Menolak memberikan fatwa yang jelas-jelas diambil hanya untuk memuaskan hawa nafsu penanya.
-
📍 Bagian 8 – Menghindari Fatwa yang Bertentangan dengan Nash (عدم مخالفة النصوص)
-
Prinsip Dasar
-
Tidak boleh seorang mufti mengeluarkan fatwa yang jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an atau Sunnah yang sahih dan sharih (tegas).
-
Jika nash sudah jelas, maka tidak ada ruang bagi ijtihad untuk menentangnya.
-
-
Contoh dari Ulama Salaf
-
Imam al-Syafi’i menegaskan: “Jika suatu hadits sahih, maka itulah mazhabku.”
-
Artinya, pendapat pribadi atau mazhab tidak boleh dipertahankan jika bertentangan dengan dalil yang sahih dan jelas.
-
-
Kewaspadaan terhadap Penakwilan yang Menyimpang
-
Sebagian orang memaksakan takwil untuk menghindari nash yang tegas demi menyesuaikan dengan kepentingan tertentu.
-
Ini adalah bentuk penyimpangan dari amanah ilmiah.
-
-
Peran Mufti
-
Memastikan setiap fatwa memiliki dasar dari nash yang sahih atau dari kaidah ushul yang valid.
-
Menghindari fatwa yang semata-mata didasari logika tanpa landasan dalil yang benar.
-
📍 Bagian 9 – Mengetahui Perbedaan antara Fatwa dan Qadha (معرفة الفرق بين الفتوى والقضاء)
-
Definisi & Karakteristik Fatwa
-
Fatwa: penjelasan hukum syar’i yang bersifat tidak mengikat.
-
Diberikan oleh mufti berdasarkan dalil, disampaikan kepada penanya untuk diikuti secara sukarela.
-
Berlaku umum dan tidak terbatas pada satu pihak saja.
-
-
Definisi & Karakteristik Qadha
-
Qadha: keputusan hukum yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa.
-
Diputuskan oleh qadhi (hakim) di pengadilan, memiliki kekuatan eksekusi.
-
Terbatas pada pihak yang berperkara, tetapi secara hukum negara atau wilayah berlaku mengikat.
-
-
Perbedaan Penting
-
Sifat mengikat: Fatwa tidak mengikat, qadha mengikat.
-
Konteks: Fatwa untuk memberikan panduan umum atau khusus; qadha untuk memutuskan sengketa.
-
Otoritas: Mufti memberi panduan; qadhi memiliki otoritas eksekusi hukum.
-
-
Konsekuensi dalam Praktik
-
Tidak semua fatwa otomatis menjadi keputusan hukum di pengadilan.
-
Dalam beberapa kasus, qadhi dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dari fatwa mufti karena mempertimbangkan bukti dan situasi.
-
📍 Bagian 10 – Sikap Berhati-hati dalam Memberi Fatwa (الاحتياط في الفتوى)
-
Makna Kehati-hatian
-
Kehati-hatian (iḥtiyāṭ) berarti memastikan setiap jawaban didasarkan pada dalil yang kuat, kajian matang, dan pemahaman yang benar terhadap realitas kasus.
-
Tidak tergesa-gesa dalam menjawab meski mendapat desakan dari penanya atau masyarakat.
-
-
Teladan dari Ulama Salaf
-
Sebagian sahabat Nabi ﷺ enggan menjawab pertanyaan fatwa hingga mereka yakin benar akan kebenarannya.
-
Ada yang sampai menolak atau menunda menjawab selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu demi memastikan kebenaran dalil.
-
-
Bahaya Fatwa Tergesa-gesa
-
Potensi besar untuk salah hukum, yang berarti mengatasnamakan Allah tanpa ilmu.
-
Bisa menyesatkan masyarakat dan merusak wibawa syariat.
-
-
Prinsip Mengutamakan Keselamatan Agama
-
Lebih baik menunda jawaban daripada memberi fatwa yang keliru.
-
Menyampaikan “saya tidak tahu” adalah bagian dari amanah ilmiah, bukan aib.
-