Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 3
📜 PENGANTAR
Fatwa dalam Islam bukan sekadar jawaban hukum, melainkan amanah besar yang menuntut keikhlasan, keluasan ilmu, dan kepekaan terhadap realitas umat. Seorang mufti dituntut bukan hanya memahami teks syariat, tetapi juga mampu menyingkap konteks, tabiat manusia, serta memberikan solusi yang membimbing kepada jalan yang diridhai Allah. Kuliah Ushul al-Fatwa karya Syaikh Dr. Musthafa bin Karamatillah Mukhdum menekankan bahwa fatwa adalah ibadah mulia yang sangat berisiko bila disalahgunakan. Karena itu, seorang mufti harus berhati-hati, beradab, dan senantiasa merasa bergantung kepada Allah ﷻ.
Pada bagian ketiga kuliah ini, beliau merinci 13 adab penting yang wajib dimiliki seorang mufti. Mulai dari menjaga niat agar ikhlas, memahami pertanyaan dengan benar, bermusyawarah dengan para ahli, hingga memberi alternatif halal dan solusi praktis bagi umat. Setiap adab dijelaskan dengan dalil, teladan para salaf, serta penerapan dalam konteks modern. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita menyadari bahwa fatwa bukan sekadar “halal” dan “haram”, tetapi jalan menuju kemudahan, keadilan, dan rahmat syariat Islam bagi manusia.
📘 RANGKUMAN KULIAH
🕌 Bagian 1: Mukadimah dan Tujuan Pembahasan
Kuliah ini melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang bahaya, kemuliaan, dan hukum fatwa. Fokus pada sesi ini adalah Adab al-Mufti (آداب المفتي), yaitu etika, prinsip-prinsip ilmiah, dan rambu-rambu moral yang harus dijaga oleh seorang pemberi fatwa sebelum, selama, dan setelah proses fatwa.
🧠 Bagian 2: 13 Adab (Etika) Seorang Mufti
Adab 1: Ikhlas dan Bergantung Sepenuhnya kepada Allah (الإخلاص والافتقار إلى الله)
Sebelum memberi fatwa, seorang mufti harus memurnikan niatnya hanya untuk Allah SWT. Tujuannya adalah menjalankan kewajiban al-Bayan (penjelasan hukum) dan mencari ridha-Nya, bukan popularitas, jabatan, atau pujian manusia.
-
Landasan: Manusia pada hakikatnya lemah dan sangat bergantung pada pertolongan Allah. Seberapapun ilmu dan kecerdasannya, taufik (bimbingan kepada kebenaran) mutlak datang dari Allah.
-
Kisah Teladan: Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, jika menghadapi masalah yang sangat sulit, beliau pergi ke tanah lapang, bersujud, dan berdoa:
"Ya Allah, Yang telah mengajarkan Ibrahim, ajarkanlah aku. Ya Allah, Yang telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku."
Ini menunjukkan betapa beliau merasa sangat fakir (butuh) kepada Allah. -
Peringatan: Rasa 'ujub (bangga diri) dan merasa cukup dari Allah adalah sebab terhalangnya hidayah. Allah berfirman:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari ayat-ayat-Ku." (QS. Al-A'raf: 146)
Adab 2: Memahami Pertanyaan dengan Tepat (فهم السؤال فهماً دقيقاً)
Seorang mufti harus memastikan ia memahami dengan persis apa yang ditanyakan dan maksud di balik pertanyaan tersebut sebelum menjawab.
-
Alasan: Banyak orang awam menggunakan istilah yang tidak tepat, ambigu, atau istilah modern yang memiliki makna berbeda dengan istilah fikih klasik.
-
Contoh:
-
"Shalat Nariyah": Jika seorang mufti langsung menghukumi haram karena mengira itu shalat wajib keenam, padahal yang dimaksud adalah formula tertentu dalam bershalawat, maka fatwanya salah sasaran.
-
"Murabahah": Dalam fikih klasik, murabahah adalah jual beli dengan menyebutkan harga pokok dan margin keuntungan. Namun, di perbankan syariah modern, istilah ini digunakan untuk produk yang kompleks. Mufti harus memahami konteks modern ini.
-
-
Nasihat Imam Ahmad: Salah satu syarat mufti adalah "Ma'rifatun Nas" (mengenal kondisi manusia), yaitu memahami tabiat, kebiasaan, adat, dan tipu daya mereka agar fatwanya sesuai realita.
Adab 3: Bermusyawarah dengan Ahli Ilmu dan Spesialis (مشاورة أهل العلم والاختصاص)
Tidak ada manusia yang menguasai semua ilmu. Seorang mufti yang jujur akan menyadari keterbatasannya dan tidak segan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli di bidang lain.
-
Landasan:
-
Al-Qur'an: Allah memuji orang beriman yang bermusyawarah (QS. Asy-Syura: 38).
-
Sunnah: Nabi Muhammad ﷺ yang ma'shum (terjaga) saja diperintahkan untuk bermusyawarah (QS. Ali 'Imran: 159) dan beliau pun melakukannya, seperti dalam Perang Badar.
-
-
Teladan Salaf:
-
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang juga mujtahid, memiliki majelis khusus para fuqaha untuk dimintai pendapat.
-
Yahya bin Yahya al-Laitsi di Andalusia memiliki dewan konsultasi beranggotakan 16 ulama.
-
Imam Abu Hanifah memiliki majelis yang berisi ahli fikih, bahasa, dan hadits.
-
-
Aplikasi Modern: Untuk masalah-masalah besar yang menyangkut umat (seperti jihad, ekonomi global, bioetika), al-Ifta' al-Jama'i (fatwa kolektif) melalui lembaga-lembaga fikih lebih utama karena memadukan berbagai perspektif dan keahlian. Namun, fatwa individu untuk masalah personal tetap dibutuhkan.
-
Catatan Penting: Dalam bermusyawarah, mufti harus menjaga rahasia dan aib orang yang bertanya. Jangan menyebarkan identitas atau detail masalahnya.
Adab 4: Menjawab Lebih dari yang Ditanya atau Mengalihkan ke yang Lebih Bermanfaat (العدول عن الجواب إلى ما هو أنفع)
Kadang, pertanyaan yang diajukan bukanlah inti masalah atau bukan hal yang paling dibutuhkan penanyanya. Seorang mufti yang bijak akan memberikan lebih dari yang ditanya atau mengalihkan fokus kepada hal yang lebih penting bagi si penanya.
-
Contoh dalam Al-Qur'an: QS. Al-Baqarah: 215, orang bertanya "Apa yang harus kami infakkan?". Alih-alih menjawab langsung, Allah menjelaskan kepada siapa infak itu diberikan (orang tua, kerabat, anak yatim, dll.), karena itu lebih substantif.
-
Contoh dalam Sunnah: Nabi ﷺ sering menambahkan penjelasan di luar pertanyaan, seperti dalam hukum air laut dan bangkainya.
Adab 5: Menunjukkan Alternatif yang Halal (إرشاد السائلين إلى البدائل الشرعية)
Seorang mufti tidak boleh hanya mengatakan "ini haram" lalu berhenti. Ia wajib menunjukkan jalan keluar (al-Makhraj) dan alternatif yang halal dari masalah yang ditanyakan.
-
Prinsip: Allah tidak pernah mengharamkan sesuatu kecuali Dia telah menyediakan yang halal sebagai penggantinya.
-
Contoh Teladan Nabi ﷺ:
-
Larangan Riba: Ketika melarang praktik riba dalam jual beli kurma, Nabi ﷺ langsung menunjukkan alternatif yang halal: jual kurma rendah kualitas dengan uang, lalu gunakan uang itu untuk membeli kurma berkualitas.
-
Anak Nakal: Seorang anak mencuri kurma dengan melempari pohonnya. Nabi ﷺ tidak hanya melarang, tetapi memberi solusi: "Jangan lempar pohonnya, tapi makanlah yang jatuh di bawah." Ini adalah alternatif halal untuk memenuhi rasa laparnya.
-
-
Aplikasi Modern:
-
Bunga Bank: Jika seseorang sudah terlanjur mengambil bunga riba, jangan hanya bilang "haram". Beri solusi: "Ambil uang itu, tapi jangan dimakan sendiri. Sedekahkan kepada fakir miskin atau untuk kepentingan umum umat Islam."
-
Warisan dari Non-Muslim: Seorang Muslim tidak bisa mewarisi non-Muslim. Jika harta warisan dibiarkan, akan diambil oleh lembaga non-Muslim dan digunakan untuk memerangi Islam. Solusinya: ambil harta itu, lalu gunakan untuk kepentingan Muslimin.
-
Adab 6: Menambahkan Penjelasan yang Diperlukan (الزيادة في الجواب على ما يحتاجه السائل)
Seorang mufti hendaknya memberikan informasi tambahan yang terkait dan bermanfaat, meskipun tidak ditanyakan secara langsung.
-
Contoh dari Sunnah:
-
Air Laut: Sahabat bertanya tentang berwudhu dengan air laut. Nabi ﷺ menjawab: "Laut itu airnya suci dan menyucikan, dan bangkainya halal." Beliau menambahkan hukum bangkai laut yang mungkin juga dibutuhkan oleh para pelaut.
-
Pakaian Ihram: Sahabat bertanya tentang apa yang boleh dipakai orang ihram. Nabi ﷺ justru menjawab dengan menyebutkan apa yang tidak boleh dipakai (celana dan burdah), karena lebih praktis dan mudah dipahami.
-
Adab 7: Menyebutkan Dalil, Illat, dan Hikmah Hukum (ذكر دليل الحكم وعلته وحكمته)
Jangan hanya memberi jawaban "halal" atau "haram". Sebutkan dasar hukumnya (dalil), sebab legislasinya (illat), dan tujuan atau maslahat di balik hukum tersebut (hikmah).
-
Manfaat:
-
Memuaskan akal: orang akan lebih mudah menerima hukum jika memahami alasannya.
-
Mencegah godaan setan: setan tidak bisa bermain jika dalil dan hikmahnya jelas.
-
Qiyas (analogi): dengan mengetahui illat, orang bisa menerapkan hukum pada kasus lain yang memiliki illat yang sama.
-
-
Contoh dalam Nas:
-
Haid: Allah tidak hanya mengharamkan menggauli wanita haid, tetapi menjelaskan alasannya: "Katakanlah: 'Itu adalah kotoran'." (QS. Al-Baqarah: 222). Penjelasan medis tentang bahayanya membuat orang lebih berhati-hati.
-
Larangan Menikahi Bibi dan Keponakan Sekaligus: Nabi ﷺ menjelaskan illatnya: "Sesungguhnya jika kalian melakukan itu, kalian telah memutus tali silaturahmi."
-
Air Liur Kucing: Nabi ﷺ menyatakan tidak najis, dengan illat: "Sesungguhnya kucing itu termasuk hewan yang selalu berkeliling di sekitar kalian." (Karena seringnya interaksi, sehingga jika dianggap najis akan memberatkan).
-
Adab 8: Memberikan Pengantar untuk Hukum yang Asing/Mengejutkan (التمهيد للحكم المستغرب)
Jika sebuah fatwa diduga akan terasa aneh, asing, atau mengejutkan bagi penanya (karena budaya atau kurangnya pengetahuan), seorang mufti harus memberikan pengantar dan penjelasan latar belakang terlebih dahulu.
-
Contoh Terbaik: Perubahan arah kiblat. Allah tidak serta-merta memerintahkan sahabat beralih dari Baitul Maqdis ke Ka'bah. Allah memberikan pengantar panjang dalam QS. Al-Baqarah: 142–150 tentang konsep nasakh (penghapusan hukum), kekuasaan-Nya, dan mencela sikap orang-orang yang hanya mempertanyakan. Setelah hati siap, barulah perintah itu turun.
Adab 9: Menghindari Bahasa yang Pasti (Jazm) dalam Masalah Ijtihadiyah (ترك القطع والجزم في الفتوى الاجتهادية)
Dalam masalah khilafiyah (yang dalilnya zhanni/interpretable), seorang mufti dilarang menggunakan bahasa yang pasti dan mutlak seperti "Ini adalah hukum Allah" atau "Ini haram secara pasti". Ia harus menggunakan bahasa yang menunjukkan bahwa ini adalah hasil ijtihadnya.
-
Contoh bahasa: "Pendapat yang kuat menurut saya...", atau "Saya cenderung kepada...".
-
Alasan: Kekuatan sebuah hukum bergantung pada kekuatan dalilnya. Jika dalilnya zhanni, maka hukumnya juga zhanni (tidak pasti). Bersikap mutlak akan menyesatkan orang awam dan memicu perpecahan.
-
Dasar: Hadits Nabi ﷺ kepada Buraidah bin al-Hushaib:
إِذَا حَاصَرْتَ حِصْنًا فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ وَحُكْمِ أَصْحَابِكَ، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا
"Jika kamu mengepung sebuah benteng dan mereka memintamu untuk turun (berdamai) berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah turun pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Tapi turunlah pada hukummu dan hukum sahabat-sahabatmu. Karena kamu tidak tahu, apakah kamu tepat mengenai hukum Allah untuk mereka atau tidak." (HR. Muslim) -
Prinsip Imam Syafi'i: "Pendapatku benar, tetapi mungkin saja salah. Pendapat selainku salah, tetapi mungkin saja benar."
Adab 10: Jelas dan Menghindari Kekaburan (الوضوح والبيان والبعد عن الغموض)
Seorang mufti wajib memberikan jawaban yang jelas, tegas, dan tidak ambigu, karena tujuan fatwa adalah diamalkan. Jawaban yang kabur akan membingungkan penanya.
-
Larangan: Menjadi "mufti diplomatis" yang membuat semua pihak (yang pro dan kontra) merasa senang dengan jawaban yang berbelit-belit.
-
Contoh Keliru:
-
Ditanya tentang pembagian warisan, dijawab: "Dibagi menurut faraidh Allah." (Ini bukan jawaban, justru itu pertanyaannya).
-
Ditanya tentang suatu hukum, dijawab: "Boleh dengan syaratnya." Lalu tidak menjelaskan syaratnya.
-
Ditanya tentang suatu hukum, dijawab: "Ada dua pendapat." Lalu tidak menjelaskan mana yang lebih kuat.
-
-
Pengecualian: Jika pertanyaannya teoritis dan tidak ada implikasi amaliah (seperti jumlah Ashhabul Kahfi dalam QS. Al-Kahfi: 22), atau jika menjelaskan pendapat yang rajih justru akan memicu fanatisme dan perpecahan, maka boleh menyampaikan semua pendapat tanpa memilih.
Adab 11: Menghindari Generalisasi dan Memperhatikan Detail (اجتناب تعميم الأحكام)
Banyak hukum syariat tergantung pada detail dan konteksnya. Seorang mufti tidak boleh memberikan jawaban umum dan mutlak untuk pertanyaan yang memerlukan perincian.
-
Contoh dari Sunnah:
-
Shalat Berjamaah: Nabi ﷺ bertanya kepada Ibnu Ummi Maktum (yang buta) apakah dia mendengar azan. Jika iya, maka wajib datang ke masjid. Jika tidak, maka boleh shalat di rumah.
-
Hadiah untuk Anak: Nabi ﷺ bertanya kepada orang tua yang ingin memberikan hadiah khusus kepada satu anaknya, "Apakah semua anakmu kamu beri seperti ini?". Jika tidak, maka itu tidak adil dan dilarang.
-
-
Bahaya Generalisasi: Menghukumi semua orang atau kelompok berdasarkan kesalahan satu orang adalah kedustaan besar. Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِيَ الرَّجُلُ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَى
"Sesungguhnya dusta yang paling keji adalah seseorang menceritakan (menggeneralisasi) apa yang dilihatnya (padahal tidak)." (Muttafaqun 'alaih)
Adab 12: Menghindari Fatwa dalam Kondisi Tidak Stabil (اجتناب الفتيا في حالة عدم الاستقرار)
Seorang mufti adalah manusia yang bisa lapar, marah, sedih, atau sakit. Kondisi emosi dan fisik yang tidak stabil dapat mempengaruhi konsentrasi dan analisisnya. Dalam kondisi seperti ini, ia harus menunda memberi fatwa.
-
Analogi: Nabi ﷺ melarang seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Begitu pula mufti, ia membutuhkan ketenangan dan konsentrasi penuh.
Adab 13: Bersikap Pertengahan (Moderat) dan Menghindari Ekstremisme (التوسط والاعتدال)
Seorang mufti harus bersikap pertengahan, tidak terlalu longgar (tasahul) dan tidak terlalu ketat (tasyaddud). Ia harus membawa manusia pada jalan tengah yang ditetapkan syariat.
-
Bahaya Tasyaddud (Terlalu Ketat): Akan membuat orang lari dari syariat karena merasa terbebani.
-
Bahaya Tasahul (Terlalu Longgar): Akan membuat orang terjerumus dalam mengikuti hawa nafsu tanpa batas.
-
Nasihat Ulama: "Sesungguhnya kefaqihan (kefahaman agama) yang sebenarnya adalah mencari rukhsah (keringanan) dari orang yang terpercaya. Adapun bersikap keras, setiap orang bisa melakukannya." (Sufyan Ats-Tsauri)
-
Konsep "Talfiq" dan "Tatabbu' ar-Rukhas":
Seorang mufti boleh saja mengambil pendapat yang marjuh (lemah) dalam kondisi tertentu dengan syarat-syarat ketat:-
Ada kebutuhan atau darurat,
-
Pendapat itu bukan pendapat yang jelas salah (dzallah),
-
Pendapat itu memang pernah dikatakan oleh ulama yang diakui.
-
-
Contoh Penerapan Rukhsah: Seorang mufti yang berpendapat wajibnya menutup wajah (niqab), dalam kondisi di mana seorang wanita akan dizalimi atau dibunuh jika memakainya, boleh memfatwakan keringanan untuknya tidak memakainya berdasarkan kaidah darurat.
💎 Ringkasan Akhir (Key Takeaways)
-
Fatwa adalah Amanah Ilahi: Sebelum memberi fatwa, bekali diri dengan keikhlasan dan rasa bergantung hanya kepada Allah.
-
Fahami Konteks: Pastikan Anda memahami pertanyaan dan realita di baliknya dengan sempurna. Jangan terburu-buru.
-
Kolaborasi Ilmu: Jangan sungkan bermusyawarah dengan ahli ilmu dan spesialis, terutama untuk masalah kompleks.
-
Berikan Solusi, Bukan Sekadar Larangan: Selalu tunjukkan alternatif halal dan jalan keluar dari masalah.
-
Jelas dan Edukatif: Sampaikan fatwa dengan jelas, disertai dalil, illat, dan hikmah untuk memahamkan, bukan sekadar memerintah.
-
Bijaksana dan Beretika: Gunakan bahasa yang tepat untuk masalah ijtihadiyah, hindari generalisasi, dan jaga kondisi diri saat memberi fatwa.
-
Moderasi adalah Kunci: Berjalanlah di jalan tengah. Jangan mempersulit yang sudah mudah, dan jangan memudahkan yang sudah sulit sesuai syariat.
Dengan mengamalkan adab-adab ini, seorang mufti insya Allah akan dapat menjalankan amanahnya dengan baik, memberikan manfaat yang luas, dan terhindar dari kesalahan dan dosa.
Wallahu a'lam bish-shawab.