Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Konvensyen Sunnah ke-11 Tarikh 2023
Pengantar
Perbahasan tentang fiqh kenegaraan selalu menyingkap pertembungan antara teks dan realiti. Islam tidak pernah memberi kema‘suman kepada sesiapa selepas Rasulullah ﷺ; tokoh sehebat mana pun tetap manusia biasa yang ada jasa besar, namun tetap mungkin melakukan kesilapan. Kerana itu, perbincangan tentang fiqh kenegaraan tidak boleh jumud, tetapi juga tidak boleh bebas tanpa batas. Prinsip besar yang diangkat oleh Ibn Qayyim—bahawa syariah adalah keadilan, rahmat, hikmah, dan maslahat—memberi garis panduan bahawa segala hukum yang menyimpang dari nilai-nilai itu, meskipun dinamakan syariah, hakikatnya bukanlah syariah.
Dalam kerangka inilah, sejarah para sahabat menunjukkan fleksibiliti luar biasa: Umar menghentikan hudud ketika kelaparan, Uthman mengatur kebijakan baru terhadap unta, Ali melanjutkan dengan modifikasi, dan Mu‘adz berijtihad dalam zakat. Semua ini menggambarkan keluasan fiqh dalam ranah politik, sosial, dan kenegaraan. Tantangannya bagi umat Islam hari ini adalah bagaimana menghidupkan roh wasatiyyah—jalan tengah yang menghubungkan nas parsial dengan maqasid universal—agar fiqh kenegaraan tidak menjadi beban kaku yang menjauhkan umat dari rahmat Islam, dan juga tidak terjerumus dalam liberalisme kosong yang memutuskan agama dari teks sucinya.
📚 Rangkuman
1. Pendahuluan: Objektivitas terhadap Tokoh
-
Prinsip utama: Tidak ada manusia maksum selepas Rasulullah ﷺ.
-
Ungkapan Muhibuddin al-Khatib (Al-‘Awasim min al-Qawasim):
-
Siapa yang mendakwa kema‘suman untuk tokoh selepas Nabi ﷺ → pendusta.
-
Manusia memiliki sisi kebaikan dan kesalahan.
-
Jangan menafikan jasa besar hanya karena ada kesilapan; sebaliknya jangan menganggap orang jahat jadi salih hanya karena ada cetusan kebaikan.
-
-
Contoh tokoh: Dr. Yusuf al-Qaradawi → jasa & sumbangan besar harus diakui, tapi kritik tetap wajar.
2. Prinsip Syariah menurut Ibn Qayyim
-
Kaedah Besar: Syariah = keadilan, rahmat, hikmah, maslahat.
-
Segala yang keluar dari prinsip ini bukan syariah:
-
Dari adil → zalim.
-
Dari rahmat → keburukan.
-
Dari maslahat → kerusakan.
-
Dari hikmah → kesia-siaan.
-
-
Kesimpulan: walau dinamakan syariah, jika bertentangan dengan nilai pokok ini, hakikatnya bukan syariah.
-
Pandangan Ibn Taymiyyah & Ibn Qayyim: di mana ada keadilan dan maslahat, di situ syariah Allah.
3. Perbezaan Ibadah vs Muamalat
-
Ibadah
-
Asal: ta‘abbud wa iltizam al-nas (pengabdian & terikat teks).
-
Tidak boleh ditambah atau diubah.
-
Contoh: solat, puasa, haji.
-
-
Muamalat, adat, siyasah (politik)
-
Asal: al-ittifāt ilal ma‘āni wal maqāsid (memahami tujuan & hikmah).
-
Terbuka bagi ijtihad sesuai konteks sosial-politik.
-
Contoh: zakat, tanah, cukai, administrasi pemerintahan.
-
4. Contoh-Contoh Ijtihad Sahabat dalam Kenegaraan
a. Sayyidina Umar r.a.
-
Bahagian muallaf:
-
Pada zaman Nabi ﷺ → muallaf diberi harta.
-
Pada zaman Umar → dihentikan (Islam sudah kuat, tak perlu lagi).
-
-
Sawadul ‘Iraq (tanah Iraq):
-
Nabi ﷺ → tanah perang dibahagi untuk mujahidin.
-
Umar → tanah dibiarkan untuk rakyat tempatan; hasilnya (cukai) masuk baitulmal.
-
Hujah Umar: untuk elak ketidakadilan generasi akan datang.
-
-
Hudud ketika kelaparan:
-
Umar hentikan potong tangan pencuri di masa kelaparan (kemarau panjang).
-
Alasannya: pencurian bukan karena tamak, tapi terpaksa.
-
-
Istilah jizyah untuk Nasrani Bani Taghlib:
-
Mereka enggan disebut “jizyah”, minta istilah “sadaqah”.
-
Umar setuju: substansi tetap, hanya istilah berubah.
-
-
Penetapan harga barang:
-
Nabi ﷺ → enggan menetapkan harga (biar mekanisme pasar).
-
Umar → menetapkan harga karena ada manipulasi pedagang.
-
b. Mu‘adz bin Jabal r.a.
-
Tugas zakat di Yaman.
-
Mengambil zakat dalam bentuk pakaian (barter) karena lebih maslahat bagi masyarakat.
-
Nabi ﷺ tidak membantah.
-
Menjadi dasar mazhab Hanafi: zakat boleh dengan nilai, bukan hanya barang.
c. Sayyidina Uthman r.a.
-
Mengatur unta hilang (berbeda dari zaman Nabi ﷺ & Abu Bakar).
-
Unta ditangkap, dipelihara, bahkan dijual → hasilnya disimpan untuk tuan asal.
d. Sayyidina Ali r.a.
-
Meneruskan kebijakan Uthman → unta tetap dikurung, tapi tidak dijual.
5. Aliran-Aliran dalam Memahami Nas
-
Az-Zahiriyyah al-Judud (Literalist Baru)
-
Kaku, hanya ikut teks literal.
-
Contoh: menolak zakat dalam bentuk nilai, menolak cukai baru selain zakat.
-
-
Al-Mu‘attilah al-Judud (Ekstrem Maqasid)
-
Abaikan nas, hanya berpegang pada maqasid walau bertentangan dengan teks.
-
Contoh: halalkan yang jelas haram dengan alasan maslahat.
-
-
Al-Wasatiyyah (Pertengahan)
-
Menghubungkan nas parsial dengan maqasid universal.
-
Tidak menafikan teks, tapi juga tidak menutup pintu ijtihad.
-
6. Politik & Kebijaksanaan (Siyasah Syar‘iyyah)
a. Peristiwa Hudaibiyah
-
Sahabat kecewa karena perjanjian dianggap merugikan Muslimin.
-
Umar mempertanyakan Nabi ﷺ secara keras.
-
Nabi ﷺ yakin strategi ini lebih maslahat jangka panjang.
-
Hasil: Islam berkembang pesat selepas itu.
b. Pemilihan Pemimpin & Kompetensi
-
Abu Zar r.a. (salih) → tidak diberi jawatan karena tidak kompeten.
-
Amr bin al-‘As (baru masuk Islam, pandai memimpin) → diberi jawatan.
-
Khalid bin Walid → meskipun pernah salah, tetap dilantik karena kehebatan militernya.
-
Kaedah Ibn Taymiyyah: pilih orang sesuai kompetensi bidang, meskipun kesalehannya kurang dibanding yang lain.
c. Kerjasama Politik
-
Hilf al-Fudul (perjanjian pra-Islam di rumah Abdullah bin Jud‘an):
-
Isinya: membela orang tertindas.
-
Nabi ﷺ memuji, bahkan berkata kalau ada perjanjian seperti itu di zaman Islam, beliau akan ikut.
-
-
Pelajaran: boleh ada kerjasama politik lintas kelompok demi keadilan sosial.
7. Kesimpulan Besar
-
Ibadah → tetap, tidak berubah, terikat nas.
-
Muamalat & Kenegaraan → luas, fleksibel, mengikuti maqasid & konteks.
-
Jalan selamat: wasatiyyah → menjaga teks, tetapi memahami tujuan hukum.
-
Fiqh kenegaraan harus lentur agar Islam tidak dipersempit menjadi beban, dan tidak pula dibebaskan liar tanpa kendali.