PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 01

KRISIS ADAB DAN AMANAH: BERATNYA TANGGUNG JAWAB FATWA DI TENGAH GELOMBANG MUFTI INSTAN

Ibnul Qayyim menyebut mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—amanah yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesabaran untuk berkata “aku tidak tahu” sebagaimana para sahabat. Namun di era mufti instan, fatwa viral, dan perang opini, adab mulia itu terkikis oleh kecepatan jari dan ego layar, menjadikan setiap kata berpotensi menjadi cahaya penuntun atau bara yang membakar.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 1



📜 Pengantar

Berfatwa adalah amanah besar, bukan sekadar menjawab pertanyaan dengan segelintir dalil yang dihafal. Ibn Qayyim menggambarkan mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—tugas yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesadaran bahwa setiap kata akan dihisab. Ironisnya, di era “mufti instan” dan “fatwa viral”, kehati-hatian yang menjadi ciri ulama salaf justru tergeser oleh kecepatan jari mengetik dan sensasi tayangan layar.

Sejarah menunjukkan, para sahabat Nabi ﷺ justru sering memilih diam daripada berfatwa tanpa keyakinan penuh. Mereka memahami bahwa satu kalimat salah bisa menyesatkan umat. Namun kini, perbedaan pendapat menjadi komoditas, dan “perang fatwa” disiarkan tanpa penjelasan metodologi. Memahami sejarah, adab, dan metodologi iftā’ bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak—bukan hanya bagi para ulama, tetapi juga bagi umat yang menjadi penerima fatwa.


📜 Faedah


1. Pendahuluan & Latar Belakang Kajian 📚

  • Kajian ini merupakan pembukaan dari rangkaian pelatihan ilmiah yang difokuskan pada ilmu al-Iftā’.

  • Diselenggarakan oleh lembaga resmi (disebut al-Idārah al-‘Āmmah lil-Awqāf) sebagai bagian dari upaya pembinaan ilmiah para da’i, imam, dan khatib.

  • Tujuan utama:

    1. Memberikan pemahaman metodologis tentang kaidah, adab, dan syarat fatwa.

    2. Mencegah fenomena kekacauan fatwa (fawḍā al-fatāwā) yang semakin marak.


2. Hakikat Fatwa sebagai Fenomena Umat 🕌

  • Iftā’ adalah fenomena yang pasti muncul dalam masyarakat Islam sepanjang sejarah.

  • Mayoritas umat tidak mampu langsung mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasan kemampuan bahasa, metodologi, dan penguasaan ilmu.

  • Mereka butuh mufti untuk menjelaskan maksud Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

  • Peran mufti: bukan sekadar menjawab pertanyaan, tapi menjadi jembatan antara teks syar’i dan realitas masyarakat.


3. Tantangan & Fawḍā al-Fatāwā ⚠️

  • Perkembangan teknologi informasi membuat penyebaran fatwa sangat cepat.

  • Namun, ini juga menimbulkan:

    1. Kekacauan fatwa akibat munculnya banyak “mufti instan” tanpa kapasitas keilmuan.

    2. Perang fatwa yang memecah belah umat karena perbedaan pendapat dipublikasikan tanpa penjelasan metodologi.

  • Penyebab utama:

    • Penuntut ilmu yang tergesa-gesa tampil memberi fatwa.

    • Media yang memotong konteks demi sensasi atau provokasi.

  • Dampak:

    • Masyarakat bingung dan kehilangan kepercayaan pada institusi fatwa.

    • Wibawa syariat dirusak oleh pemberitaan yang tidak proporsional.


4. Solusi & Tanggung Jawab Bersama 🤝

  • Kursus ilmiah seperti ini menjadi langkah penting untuk membina generasi mufti yang beradab dan berilmu.

  • Semua pihak—ulama, penuntut ilmu, media, dan masyarakat—punya peran:

    • Ulama: membina dengan standar ilmiah dan teladan akhlak.

    • Media: menyajikan fatwa secara proporsional, tidak provokatif.

    • Masyarakat: belajar adab bertanya, tidak mendesak mufti untuk menjawab cepat.


5. Sejarah Awal Fatwa 📜

a. Masa Nabi ﷺ

  • Nabi ﷺ adalah mufti utama, memberikan fatwa:

    • Kadang berdasarkan wahyu langsung.

    • Kadang berdasarkan ijtihad, lalu dikoreksi wahyu bila perlu.

  • Fatwa beliau menjadi hujjah syar’i yang mengikat seluruh umat.

b. Masa Sahabat

  • Menurut Ibn Hazm, sahabat terbagi tiga kelompok:

    1. Al-Mubtsirūn (banyak berfatwa): Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Umar.

    2. Al-Muqillūn (sedikit berfatwa): Abu Bakar, Utsman, Abu Hurairah.

    3. Sangat sedikit berfatwa: hanya 2–4 kasus saja.

  • Ciri utama: kehati-hatian dan seringnya mengatakan “Aku tidak tahu” meski mampu menjawab.

c. Masa Tabi’in & Sesudahnya

  • Fatwa berkembang mengikuti perkembangan madzhab fiqh.

  • Muncul karya-karya penghimpunan fatwa untuk memudahkan rujukan.


6. Penghimpunan Fatwa Ulama Besar 📚

  • Contoh karya penting:

    • Fatwa Ibn Abbas – dihimpun Abu Bakar Muhammad bin Musa.

    • al-Mudawwanah – fatwa Imam Malik.

    • al-Muwaththa’ – kombinasi hadis dan fatwa Imam Malik.

    • al-Mabsuth – fatwa mazhab Hanafi oleh Imam Muhammad al-Syaibani.

    • al-Fatāwā al-Hindiyyah – kompilasi ulama Hanafi India.

    • al-Mi‘yār al-Mu‘rib – fatwa ulama Maghrib.

  • Sumber lainnya: Kitab hadis mushannaf (Ibn Abi Syaibah, Abdurrazzaq) yang memuat fatwa sahabat dan tabi’in.


7. Karakteristik Kitab Fatwa 📖

  • Ringkas dan langsung ke inti masalah.

  • Minim argumentasi panjang, fokus pada solusi praktis.

  • Memuat pertanyaan riil yang diajukan masyarakat.

  • Menjadi data historis dan sosial yang berharga untuk penelitian.


8. Nilai Ilmiah & Manfaat Sosial-Historis 🏛️

  • Kitab fatwa bisa dijadikan sumber untuk:

    • Mengkaji kondisi sosial, budaya, dan politik pada masa tertentu.

    • Memahami realitas masyarakat dari pertanyaan yang diajukan.

  • Contoh: Nawāzil Abī Musa al-Māzūnī digunakan orientalis untuk meneliti adat Maroko abad pertengahan.


9. Sumber Khusus Ilmu Iftā’ 📚

  • Kitab khusus:

    • Uṣūl al-Futyā – Ibn Harith al-Khushani.

    • Adab al-Muftī – al-Saymari.

    • Adab al-Muftī wa al-Mustaftī – Ibn al-Salah.

    • al-Iḥkām – al-Qarafi.

    • I‘lām al-Muwaqqi‘īn – Ibn Qayyim.

    • Manār al-Fatwā – al-Laqqani.

  • Juga dibahas dalam kitab ushul fiqh dan fiqh umum seperti al-Majmū‘ dan al-Furū‘.


10. Definisi Fatwa & Perbedaan Istilah 📑

  • Bahasa: penjelasan hukum atau jawaban masalah.

  • Istilah: Iẓhār al-faqīh li al-ḥukm al-shar‘ī bilā ilzām.

  • Beda dengan:

    • Fiqh: proses memahami hukum dari dalil.

    • Ijtihad: upaya maksimal mencari hukum dari dalil.

    • Qaḍā’: keputusan hukum yang mengikat.

    • Taqrīr: persetujuan Nabi ﷺ terhadap ucapan/perbuatan.

  • Catatan penting:

    • Mufti tidak menciptakan hukum, tapi menampakkan hukum Allah.

    • Menyampaikan pendapat ulama tanpa ijtihad disebut naql al-fatwa (menukil), bukan iftā’.