PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 04

Dalam tradisi Islam, meminta fatwa adalah ibadah yang sarat adab. Namun, realitas sering membalikkan wajahnya: sebagian hanya bertanya untuk mencari celah, bukan kebenaran. Maka, masihkah kita jujur pada niat kita?

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 4

Pengantar: Di Balik Setiap "Bolehkah?" – Mengurai Etika Meminta Fatwa dalam Gelombang Informasi Agama

Apakah kita sedang mencari kebenaran, atau sekadar pembenaran?

Pertanyaan ini mungkin terasa menusuk, tetapi inilah pertanyaan kritis yang harus kita hadapi di era diantara banjirnya informasi keagamaan. Setiap hari, melalui genggaman tangan, kita disuguhi berbagai pendapat, fatwa, dan jawaban atas persoalan hidup dari sumber yang tak terhitung jumlahnya. Dalam situasi seperti ini, fokus kita sering kali tertuju pada siapa yang berhak memberi fatwa dan apa isi fatwanya. Namun, ada pihak ketiga yang justru paling menentukan sah tidaknya proses ini, namun sering luput dari perhatian: kita sendiri, sebagai peminta fatwa.

Kita dengan mudahnya mengkritik seorang mufti yang dianggap salah, tetapi sejauh mana kita telah mengintrospeksi cara kita bertanyaniat di balik pertanyaan kita, dan bagaimana kita menyikapi jawaban yang tidak sesuai ekspektasi? Apakah kita telah menjadi pencari ilmu yang rendah hati, atau justru konsumen fatwa yang rewel dan hanya mencari yang enak didengar?

Kuliah Syaikh Dr. Musthafa bin Karamahullah Makhdum ini menelanjangi secara tajam dan mendalam sisi kelam yang sering kita abaikan: Adab al-Mustafti (Etika Peminta Fatwa). Ini bukan sekadar tutorial sopan santun, melainkan sebuah disertasi ringkas tentang psikologi pencarian kebenaran dalam Islam. Materi ini memaksa kita untuk bercermin:

  • Apakah kita bertanya untuk tunduk pada hukum Allah, atau untuk menjinakkan hukum Allah agar tunduk pada selera kita?
  • Apakah kita memilih mufti berdasarkan kapasitas keilmuannya, atau berdasarkan popularitas dan gelarnya yang mentereng?
  • Ketika fatwa dari dua ulama shaleh bertolak belakang, apakah kita melihatnya sebagai khazanah keluwesan fiqih, atau justru sebagai bukti bahwa agama ini relatif dan bisa kita pilah-pilih sesuka hati?

Persiapkan diri Anda untuk menggugat paradigma Anda sendiri. Kuliah ini akan membawa kita menyelami landasan teologis dari sikap taslim (pasrah), mengurai prinsip husnuzhan (berprasangka baik) yang ternyata adalah kewajiban, dan membongkar mitos bahwa seorang awam boleh bersikap pasif dan ceroboh dalam mencari fatwa.

Bersiaplah untuk menemukan bahwa dalam setiap pertanyaan "Bolehkah?" yang kita lontarkan, tersimpan ujian keimanan yang jauh lebih besar daripada sekadar menunggu jawaban "boleh" atau "tidak". Selamat menyelami proses mengaudit niat dan merevolusi adab kita dalam mencari ilmu agama.


Rangkuman Kuliah: Adab dan Hukum bagi Mustafti (Peminta Fatwa)

Pemateri: الشيخ الدكتور مصطفى بن كرامة الله مخدوم (Asy-Syaikh Dr. Musthafa bin Karamahullah Makhdum)


Bagian 1: Pendahuluan dan Prinsip Dasar

[00:00 - 01:16]

  • Pembuka Doa: Kuliah dimulai dengan doa memohon ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, perbaikan niat, keturunan, dan akhir hidup yang baik (husnul khatimah).
  • Topik Bahasan: Kuliah ini merupakan kelanjutan dari pembahasan Adab al-Fatwa (Etika Berfatwa) dan akan fokus pada aspek terakhir, yaitu Adab al-Mustafti (Etika bagi Peminta Fatwa). Ini mencakup hukum syar'i dan norma etika yang harus diperhatikan oleh orang yang mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti.
  • Kunci Kesuksesan: Keberhasilan dan kebermanfaatan proses fatwa bergantung pada komitmen kedua belah pihak:
    1. Mustafti: Mematuhi tata cara dan adab dalam menyusun pertanyaan.
    2. Mufti: Mematuhi prinsip-prinsip dan hukum (ushul wa ahkam) fatwa yang telah dijelaskan sebelumnya.

Bagian 2: Adab Pertama: Ikhlas dan Niat yang Benar

[01:16 - 05:55]

  • Poin Utama: Ikhlas (kejujuran dan kemurnian hati) hanya karena Allah SWT merupakan landasan utama segala amal, termasuk dalam meminta fatwa.
  • Dasar Teologis:
    • Hadits: Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Muttafaqun 'Alaih/Disepakati Kesahihannya).

MAZHAB HANAFI: ANTARA FITNAH, SALAH FAHAM, DAN KEINDAHAN IJTIHAD

Ahli panel: Dr. Zaharudin Abdul Rahman - AJK Fatwa Negeri Perlis


Kesalahfahaman terhadap mazhab, termasuk mazhab Hanafi, mengajarkan kita satu hal penting: perbedaan ijtihad ulama bukan alasan untuk merendahkan, melainkan peluang untuk memperkaya pemahaman agama. Imam Abu Hanifah dan para imam besar lainnya berijtihad dengan penuh amanah sesuai konteks zaman mereka. Apa yang kadang terlihat “janggal” di mata kita hari ini, sering kali lahir dari kebutuhan dakwah dan kemaslahatan umat di masa awal Islam.

Apakah kita akan terus mewarisi fitnah dan salah faham tentang mazhab, ataukah kita siap menghidupkan kembali adab berbeza pendapat yang diwariskan para ulama? 

🖋️ PENGANTAR

Dalam sejarah fiqh, mazhab Hanafi sering kali menjadi sasaran salah faham dan fitnah ilmiah. Salah satu contohnya ialah tuduhan bahawa Imam Abu Hanifah menghalalkan solat dengan membaca al-Fatihah dalam bahasa Parsi. Bahkan ada ulama besar mazhab lain yang secara terang-terangan menggambarkan “solat Hanafi” dengan cara yang sengaja dipelesetkan: berwudhu dengan air berlalat, bertakbir dengan bahasa asing, membaca al-Fatihah terjemahan, tanpa tumakninah, dan menutup solat dengan kentut! Gambaran ini jelas provokatif, namun justru menyingkap persoalan serius: benarkah begitu mazhab Hanafi, ataukah ini hanyalah manipulasi untuk menjatuhkan?

Kajian akademik yang teliti—seperti yang dilakukan oleh Syahid Abu Zahra—menunjukkan bahawa fatwa Imam Abu Hanifah tentang kebolehan membaca terjemahan al-Fatihah dalam solat bukanlah prinsip tetap mazhab, melainkan ijtihad sementara yang lahir dari konteks dakwah: bagaimana meringankan orang Parsi yang baru masuk Islam dan kesulitan melafazkan bahasa Arab. Bahkan riwayat sahih membuktikan bahawa Abu Hanifah kemudian menarik kembali fatwa tersebut. Dengan kata lain, pernyataan kecil dalam isu furu‘ tidak boleh digeneralisasikan menjadi usul mazhab.


📚 FAWAID

1. Salah Faham yang Tersebar

  • Ada tuduhan ekstrem terhadap Imam Abu Hanifah dan mazhabnya, seolah-olah solat Hanafi dilakukan dengan:

    • Wudhu menggunakan air berlalat.

    • Bertakbir dalam bahasa Parsi.

    • Membaca al-Fatihah dalam terjemahan.

    • Tidak melakukan tumakninah dalam solat.

    • Menutup solat dengan suara kentut.

  • Tuduhan ini lahir bukan dari penelitian ilmiah, melainkan dari fitnah dan sentimen terhadap mazhab Hanafi.

IBNUL QAYYIM DAN REVOLUSI IJTIHAD

Ahli panel: Dr. Rozaimi Ramle - AJK Fatwa Negeri Perlis - Arsip Perkampungan Sunnah Siri ke 4 Tarikh 2017 Tajuk: Ketokohan Para Imam Mujtahid

Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah bukan sekadar murid Ibn Taymiyyah, tapi seorang mujtahid berani yang selalu menempatkan Qur’an dan Sunnah di atas nama besar atau tradisi. Ia menolak taqlid buta, mengkritik ijma‘ rapuh, bahkan berani menyelisihi gurunya demi kebenaran. Warisannya bukan hanya kitab seperti I‘lam al-Muwaqqi‘in, tetapi juga nyali ilmiah untuk berkata benar meski dibenci. Pertanyaan penting untuk kita: siapkah kita meneladani keberanian beliau, ataukah kita lebih suka bersembunyi di balik fanatisme mazhab?

Menggali ketokohan Ibnul Qayyim bukan sekadar membaca biografi seorang ulama besar, melainkan sebuah cermin yang menantang kita: sejauh mana keberanian intelektual kita dalam beragama?

Beliau telah menunjukkan bahwa:

  • Dalil adalah raja. Tidak ada pandangan sahabat, imam, atau jumhur yang boleh berdiri jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah sahih.

  • Ijtihad memerlukan nyali. Penjara, celaan, bahkan tuduhan sesat bukan alasan untuk menukar kebenaran dengan keredhaan manusia.

  • Ilmu bukan hafalan belaka. Ia harus disertai integritas, adab dalam berfatwa, dan kesanggupan berkata “saya tidak tahu” bila memang belum jelas dalilnya.

Hari ini, kita hidup di zaman di mana banyak orang berdebat dengan retorik tanpa dalil, atau berlindung di balik slogan “ikut mazhab” tanpa memahami bagaimana mazhab itu dibina. Ibnul Qayyim hadir sebagai pengingat keras: agama ini tidak dibangun atas taqlid buta, tetapi atas hujjah yang jelas.

PENGANTAR : Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dan Keberanian Ijtihad

Dalam sejarah panjang keilmuan Islam, nama Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H) sering tenggelam di balik bayang gurunya, Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah. Ironisnya, meskipun beliau menghasilkan karya-karya monumental, ketokohannya kerap hanya disebut sepintas lalu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan provokatif: Apakah kita adil dalam menilai warisan intelektual para ulama, ataukah kita hanya menumpang pada popularitas figur tertentu?

Ibnul Qayyim adalah bukti hidup bahwa ijtihad sejati lahir dari keberanian intelektual. Beliau bermazhab Hanbali, tetapi tidak pernah terikat dengan taqlid buta. Baginya, ukuran kebenaran bukanlah nama besar sahabat, bukan juga jumhur fuqaha, tetapi dalil yang sahih dari al-Qur’an dan Sunnah. Prinsip ini membuatnya berani menolak pandangan Umar bin al-Khattab dalam beberapa isu, berbeda dengan gurunya sendiri, bahkan berseberangan dengan konsensus palsu yang sering diulang-ulang tanpa penelitian mendalam.

KELUASAN FIQH KENEGARAAN: ANTARA TEKS, KONTEKS, DAN KEBIJAKSANAAN

Syariat Islam bukanlah kerangka sempit yang membelenggu akal, melainkan jalan luas yang menuntun kepada keadilan, rahmat, dan maslahat. Ketika fiqh kenegaraan dipersempit hanya pada literal teks, lahirlah kejumudan; ketika ia dipaksa tunduk pada tafsir maqasid yang liar, lahirlah penyimpangan. Jalan tengah wasatiyyah adalah kunci keseimbangan, agar Islam tetap relevan menjawab cabaran zaman.

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Konvensyen Sunnah ke-11 Tarikh 2023


Pengantar

Perbahasan tentang fiqh kenegaraan selalu menyingkap pertembungan antara teks dan realiti. Islam tidak pernah memberi kema‘suman kepada sesiapa selepas Rasulullah ﷺ; tokoh sehebat mana pun tetap manusia biasa yang ada jasa besar, namun tetap mungkin melakukan kesilapan. Kerana itu, perbincangan tentang fiqh kenegaraan tidak boleh jumud, tetapi juga tidak boleh bebas tanpa batas. Prinsip besar yang diangkat oleh Ibn Qayyim—bahawa syariah adalah keadilan, rahmat, hikmah, dan maslahat—memberi garis panduan bahawa segala hukum yang menyimpang dari nilai-nilai itu, meskipun dinamakan syariah, hakikatnya bukanlah syariah.

Dalam kerangka inilah, sejarah para sahabat menunjukkan fleksibiliti luar biasa: Umar menghentikan hudud ketika kelaparan, Uthman mengatur kebijakan baru terhadap unta, Ali melanjutkan dengan modifikasi, dan Mu‘adz berijtihad dalam zakat. Semua ini menggambarkan keluasan fiqh dalam ranah politik, sosial, dan kenegaraan. Tantangannya bagi umat Islam hari ini adalah bagaimana menghidupkan roh wasatiyyah—jalan tengah yang menghubungkan nas parsial dengan maqasid universal—agar fiqh kenegaraan tidak menjadi beban kaku yang menjauhkan umat dari rahmat Islam, dan juga tidak terjerumus dalam liberalisme kosong yang memutuskan agama dari teks sucinya.


📚 Rangkuman 


1. Pendahuluan: Objektivitas terhadap Tokoh

  • Prinsip utama: Tidak ada manusia maksum selepas Rasulullah ﷺ.

  • Ungkapan Muhibuddin al-Khatib (Al-‘Awasim min al-Qawasim):

    • Siapa yang mendakwa kema‘suman untuk tokoh selepas Nabi ﷺ → pendusta.

    • Manusia memiliki sisi kebaikan dan kesalahan.

    • Jangan menafikan jasa besar hanya karena ada kesilapan; sebaliknya jangan menganggap orang jahat jadi salih hanya karena ada cetusan kebaikan.

  • Contoh tokoh: Dr. Yusuf al-Qaradawi → jasa & sumbangan besar harus diakui, tapi kritik tetap wajar.


2. Prinsip Syariah menurut Ibn Qayyim

  • Kaedah Besar: Syariah = keadilan, rahmat, hikmah, maslahat.

  • Segala yang keluar dari prinsip ini bukan syariah:

    • Dari adil → zalim.

    • Dari rahmat → keburukan.

    • Dari maslahat → kerusakan.

    • Dari hikmah → kesia-siaan.

  • Kesimpulan: walau dinamakan syariah, jika bertentangan dengan nilai pokok ini, hakikatnya bukan syariah.

  • Pandangan Ibn Taymiyyah & Ibn Qayyim: di mana ada keadilan dan maslahat, di situ syariah Allah.

SYARH KITAB TALKHIS RAUDHATUN NAZIR

Kitab Talkhis Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir adalah ringkasan (talkhis) dari karya utama Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir karya Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (541-620 H), yang diringkas oleh Imam Muhammad bin Abi al-Fath Al-Ba'li Al-Hanbali (w. 709 H). Syarah (penjelasan) ini dilakukan oleh Syaikh Sa'ad bin Nasir Asy-Syathri, seorang ulama kontemporer ahli ushul fiqih mazhab Hanbali.

Oleh: Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri - Anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

TA'LIQ ATAS KITAB BIDAYAT AL-MUJTAHID WA NIHAYAT AL-MUQTASHID KARYA IMAM IBN RUSHD

Oleh: Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri - Anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

TA'LIQ ATAS KITAB AR-RISALAH KARYA IMAM ASY-SYAFI'I

Oleh: Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri - Anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

SYARH AL-FAQIH WAL MUTAFAQQIH

Oleh: Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri - Anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

SYARH RAUDHATUN NAZIR

Oleh: Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri - Anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

SYARH MARĀQĪ AS-SU‘ŪD

مرقى السعود لمبتغي الرقي والصعود في أصول 

“Tangga Kebahagiaan bagi Pencari Ketinggian dan Pendakian dalam Ilmu Ushul Fiqh”

مراقي السعود (Marāqī as-Su‘ūd) = sebuah matan berbentuk nazham (puisi ilmiah) dalam bidang Uṣūl al-Fiqh, dikarang oleh ‘Abdullāh ibn al-Ḥājj Ibrāhīm al-‘Alawī as-Sinkītī (w. 1232 H). Kitab ini merupakan syair yang merangkum kaidah-kaidah penting Uṣūl al-Fiqh. Dikenal sebagai salah satu matan utama dalam Ushul Fiqh bermazhab Maliki, tetapi isinya bermanfaat secara umum untuk semua penuntut ilmu karena merangkum kaidah ushul yang mendasar.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah

FATWA NUR ‘ALA AD-DARB : FADHILATUS SYAIKH PROF. DR. SA’AD BIN NASHIR ASY-SYATSRI

Nur ‘ala ad-Darb (Cahaya di atas Jalan) adalah nama program radio dakwah yang sangat terkenal di Kerajaan Arab Saudi sejak tahun 1391 H (1971 M). Disiarkan oleh Idha’at al-Qur’an al-Karim (Radio Al-Qur’an al-Karim), program ini berisi sesi tanya-jawab langsung antara masyarakat dan para ulama senior. Formatnya: pendengar mengirimkan atau menelpon untuk bertanya persoalan agama, lalu dijawab oleh ulama berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan fatwa para ulama terpercaya.


Profil: 
Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri adalah anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.

MAQĀṢID ASY-SYARĪ‘AH DARI KITAB NAYL AL-MUNĀ FĪ NAZHM AL-MUWĀFAQĀT

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah

Apakah seorang mufti cukup hanya hafal teks dan hukum-hukum cabang tanpa memahami tujuan syariat? Jawabannya: tidak. Sebab, tanpa maqāṣid, fatwa bisa kering, kaku, bahkan menjerumuskan umat.

Bab Maqāṣid asy-Syarī‘ah dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa seluruh hukum Islam diturunkan untuk menjaga kemaslahatan manusia melalui lima pokok besar: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Inilah kompas yang membedakan antara fatwa yang hidup dan fatwa yang mematikan akal sehat.

Karena itu, seorang pemberi fatwa wajib menguasai maqāṣid: agar setiap keputusan hukum yang ia keluarkan tidak hanya sah secara teks, tetapi juga benar secara tujuan, selaras dengan ruh syariat.


Nayl al-Munā fī Nazhm al-Muwāfaqāt karya Abu Bakr bin 'Ashim Al-Andalusy adalah sebuah kitab berbentuk nazhm (syair ilmiah) yang merupakan ringkasan dan penjelasan dalam bentuk bait syair dari kitab besar al-Muwāfaqāt karya Imam asy-Syathibi (w. 790 H).

🔎 Konteks Akademik

  • Kitab al-Muwāfaqāt karya Imam asy-Syathibi adalah salah satu referensi terpenting dalam kajian Uṣūl al-Fiqh dan khususnya Maqāṣid asy-Syarī‘ah.

  • Nayl al-Munā fī Nazhm al-Muwāfaqāt berfungsi memudahkan para penuntut ilmu memahami isi al-Muwāfaqāt melalui bentuk bait-bait nazham yang lebih ringkas dan mudah dihafal.

  • Bab Maqāṣid asy-Syarī‘ah di dalamnya membahas tujuan-tujuan pokok syariat seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta penjelasan tingkat kebutuhan syariat (daruriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat).

SYARH RISALAH MUKHTASHOROH FI USHUL AL-FIQH

USHUL FIQH: KOMPAS IJTIHAD DI TENGAH BADAI PENAFSIRAN

Di era ketika ayat dan hadis dipetik untuk membenarkan opini, dan fatwa lahir lebih cepat daripada proses meneliti dalilnya, Ushul Fiqh adalah benteng terakhir yang memisahkan antara ijtihad yang sahih dan klaim hukum yang menyesatkan. Kitab ringkas Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di ini mengajari kita bahwa memahami syariat bukan hanya soal hafal dalil, tetapi tentang menempatkan setiap dalil di relnya—dengan kaidah, disiplin, dan amanah ilmiah yang terjaga.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip daurah ilmiah 


📜 Pengantar

Ilmu Ushul Fiqh bukan sekadar “pelajaran tambahan” dalam kurikulum syariah. Ia adalah otak di balik setiap hukum, mesin logika yang memastikan setiap fatwa berdiri di atas landasan yang sahih. Tanpanya, dalil-dalil hanya menjadi kumpulan teks yang dipetik seenaknya, dan hukum-hukum Allah terancam menjadi mainan hawa nafsu. Sayangnya, banyak orang yang ingin bicara hukum tapi enggan menempuh jalan panjang memahami kaidah-kaidahnya, sehingga kesimpulan mereka rapuh, emosional, bahkan bertentangan dengan maksud syariat itu sendiri.

Kitab ringkas karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di ini adalah jembatan emas menuju pemahaman hukum yang kokoh. Disusun dengan gaya singkat namun padat makna, ia mengantarkan pembaca pada inti-inti kaidah yang menjadi kunci istinbath. Dari pembagian hukum taklifi, prinsip perintah dan larangan, metode memahami lafaz umum dan khusus, hingga seni menimbang dalil yang tampak bertentangan—semuanya tersaji sebagai paket kompas intelektual yang memandu seorang penuntut ilmu agar tidak tersesat di lautan pendapat.


📚 Faedah Lengkap

1. Pembukaan & Adab Memulai Ilmu

  • Penulis memulai dengan hamdalah dan shalawat, sebagai adab mulia dan sunnah Nabi ﷺ.

  • Hadits: “Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan Bismillah atau pujian kepada Allah, maka ia terputus (tidak berkah).”

  • Hamdalah mengandung makna pengakuan nikmat, rasa syukur, dan pengagungan terhadap Allah.

  • Shalawat kepada Nabi ﷺ adalah bentuk penghormatan sekaligus doa agar kita diberi taufik mengikuti sunnah beliau.


2. Kemuliaan Ushul Fiqh

  • Definisi: Ushul Fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum yang darinya dihasilkan hukum-hukum syar’i cabang.

  • Kedudukannya: sebagai ilmu alat bagi seorang faqih untuk memahami syariat secara benar.

  • Buah terbesar: Al-Malakatu al-Fiqhiyyah — kemampuan melakukan ijtihad.

  • Tanpa ilmu ini, orang hanya bisa taqlid; dengan ilmu ini, ia bisa memahami dalil dan menarik hukum dengan benar.

TAFSIR FIQIH

Profil Penulis:
Fadhilatus Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz Abu Habib Asy-Syatsri adalah anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi, sekaligus penasihat di Diwan Maliki (Kantor Kerajaan) dengan pangkat menteri, dan dosen di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas King Saud.


Tafsir Fiqih Karya Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri

Telah terbit buku terbaru berjudul Tafsir Fiqih, karya Prof. Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, diterbitkan oleh Dar Kunuz Isybiliya li an-Nasyr wa at-Tauzi’.

Buku Tafsir Fiqih ini pada mulanya merupakan kumpulan kuliah ilmiah yang disampaikan oleh Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri melalui siaran Radio Al-Qur’an al-Karim. Materinya merupakan uraian rinci dan komprehensif mengenai makna istilah-istilah fiqih yang seringkali sulit dipahami sebagian kalangan. Pembahasannya meliputi seluruh bab fiqih yang telah dikenal dalam literatur klasik.

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 03

KRISIS ADAB DAN AMANAH: BERATNYA TANGGUNG JAWAB FATWA DI TENGAH GELOMBANG MUFTI INSTAN

Ibnul Qayyim menyebut mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—amanah yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesabaran untuk berkata “aku tidak tahu” sebagaimana para sahabat. Namun di era mufti instan, fatwa viral, dan perang opini, adab mulia itu terkikis oleh kecepatan jari dan ego layar, menjadikan setiap kata berpotensi menjadi cahaya penuntun atau bara yang membakar.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 3

📜 Pengantar

Berfatwa bukan sekadar menjawab pertanyaan agama dengan kutipan dalil, melainkan mengemban peran sebagai tawqī‘ ‘anillāh—tanda tangan atas nama Allah ﷻ—sebagaimana dijelaskan Ibn Qayyim. Setiap kata yang diucapkan mufti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang menurunkan hukum itu. Sayangnya, di era “serba cepat” ini, fatwa kerap lahir dari ruang digital lebih cepat dari waktu seduh secangkir kopi. Ada yang dilandasi niat tulus, ada pula yang dibungkus hawa nafsu, popularitas, atau tekanan publik.

Sejarah dan adab para ulama menunjukkan bahwa fatwa tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari lautan ilmu, dibentuk oleh hati yang takut kepada Allah, dan dijaga dengan kehati-hatian yang kadang membuat seorang ulama memilih diam. Maka, memahami prinsip-prinsip iftā’, adab mufti, serta bahaya fatwa tergesa-gesa adalah kebutuhan mendesak—bukan hanya bagi para ulama, tapi juga bagi umat yang menjadi penerima fatwa. Tanpa pemahaman ini, fatwa bisa menjadi cahaya penuntun… atau bara yang membakar.


📍 Bagian 1 – Adab yang Berkaitan dengan Allah (إخلاص النية والاستعانة بالله)

  1. Ikhlas dalam Niat

    • Mufti wajib memurnikan niatnya hanya untuk mencari ridha Allah ﷻ, bukan untuk kepentingan pribadi, politik, popularitas, atau keuntungan duniawi.

    • Fatwa adalah amanah besar; menyimpangkan niat berarti mengkhianati amanah tersebut.

  2. Istiʿānah (Memohon Pertolongan Allah)

    • Dalam menghadapi persoalan hukum, mufti harus menyandarkan dirinya sepenuhnya kepada Allah ﷻ.

    • Dicontohkan oleh Ibn Taymiyyah: jika menghadapi masalah rumit, beliau akan keluar ke tempat sunyi, sujud di tanah, memohon ilham dan petunjuk dari Allah.

    • Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan fatwa bukan hanya dari kecerdasan akal, tetapi dari taufik Ilahi.

  3. Tawadhuʿ dan Menjaga Hati dari Kesombongan

    • Kesadaran bahwa ilmu itu titipan Allah akan menghindarkan mufti dari ujub dan merasa diri paling benar.

    • Keikhlasan dan istiʿānah menjaga keseimbangan antara keberanian dalam kebenaran dan kerendahan hati.

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 01

KRISIS ADAB DAN AMANAH: BERATNYA TANGGUNG JAWAB FATWA DI TENGAH GELOMBANG MUFTI INSTAN

Ibnul Qayyim menyebut mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—amanah yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesabaran untuk berkata “aku tidak tahu” sebagaimana para sahabat. Namun di era mufti instan, fatwa viral, dan perang opini, adab mulia itu terkikis oleh kecepatan jari dan ego layar, menjadikan setiap kata berpotensi menjadi cahaya penuntun atau bara yang membakar.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 1



📜 Pengantar

Berfatwa adalah amanah besar, bukan sekadar menjawab pertanyaan dengan segelintir dalil yang dihafal. Ibn Qayyim menggambarkan mufti sebagai penandatangan hukum Allah di bumi—tugas yang menuntut ilmu mendalam, hati yang takut kepada Allah, dan kesadaran bahwa setiap kata akan dihisab. Ironisnya, di era “mufti instan” dan “fatwa viral”, kehati-hatian yang menjadi ciri ulama salaf justru tergeser oleh kecepatan jari mengetik dan sensasi tayangan layar.

Sejarah menunjukkan, para sahabat Nabi ﷺ justru sering memilih diam daripada berfatwa tanpa keyakinan penuh. Mereka memahami bahwa satu kalimat salah bisa menyesatkan umat. Namun kini, perbedaan pendapat menjadi komoditas, dan “perang fatwa” disiarkan tanpa penjelasan metodologi. Memahami sejarah, adab, dan metodologi iftā’ bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak—bukan hanya bagi para ulama, tetapi juga bagi umat yang menjadi penerima fatwa.


📜 Faedah


1. Pendahuluan & Latar Belakang Kajian 📚

  • Kajian ini merupakan pembukaan dari rangkaian pelatihan ilmiah yang difokuskan pada ilmu al-Iftā’.

  • Diselenggarakan oleh lembaga resmi (disebut al-Idārah al-‘Āmmah lil-Awqāf) sebagai bagian dari upaya pembinaan ilmiah para da’i, imam, dan khatib.

  • Tujuan utama:

    1. Memberikan pemahaman metodologis tentang kaidah, adab, dan syarat fatwa.

    2. Mencegah fenomena kekacauan fatwa (fawḍā al-fatāwā) yang semakin marak.


2. Hakikat Fatwa sebagai Fenomena Umat 🕌

  • Iftā’ adalah fenomena yang pasti muncul dalam masyarakat Islam sepanjang sejarah.

  • Mayoritas umat tidak mampu langsung mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasan kemampuan bahasa, metodologi, dan penguasaan ilmu.

  • Mereka butuh mufti untuk menjelaskan maksud Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

  • Peran mufti: bukan sekadar menjawab pertanyaan, tapi menjadi jembatan antara teks syar’i dan realitas masyarakat.

PRINSIP-PRINSIP DASAR FATWA - 02

I'LAMUL MUWAQQI'IN 'AN RABBIL 'ALAMIN (TANDA TANGAN A.N. RABBUL 'ALAMIN)

Dalam pandangan Ibnul Qayyim, setiap fatwa adalah pernyataan resmi dari hukum Allah di bumi. Namun, di tengah riuh media sosial dan derasnya informasi, amanah ini sering dipikul oleh pundak yang rapuh atau tangan yang gemetar oleh kepentingan dunia. Inilah saatnya menimbang ulang siapa yang berhak menandatangani nama Allah dalam perkara hukum.

Oleh: Asy-Syaikh Prof. Dr. Musthofa bin Makhdum - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Islam Madinah - Arsip Daurah Ushul Al-Futya 02/2021 Sesi 2



📖 Pengantar

Fatwa adalah tanda tangan atas nama Rabbul ‘Alamin — sebuah frasa yang mungkin terdengar puitis, tapi hakikatnya adalah peringatan keras. Ibn Qayyim mengingatkan bahwa mufti bukan pencipta hukum, melainkan juru bicara hukum Allah di bumi. Setiap huruf yang keluar dari lisannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang menurunkan hukum itu sendiri. Namun, di era banjir informasi dan haus sensasi, fatwa sering bergeser dari amanah ilmiah menjadi komoditas publik: mudah diakses, cepat viral, tapi kerap kehilangan akarnya pada dalil yang sahih.

Fenomena fawḍā al-fatāwā hari ini memperlihatkan wajah lain dunia fatwa — ketika “mufti instan” bermunculan di layar ponsel, ketika perbedaan ijtihad berubah menjadi drama terbuka, dan ketika masyarakat lupa bahwa kebenaran tidak diukur dari jumlah like atau share. Kajian ini adalah undangan untuk kembali ke pondasi: menghidupkan adab berfatwa, menegakkan syarat ilmiah, dan menempatkan kembali fatwa sebagai cahaya penuntun, bukan bara yang membakar.


📜 Pendahuluan

  • Tema utama : Pembahasan Uṣūl al-Futyā (Prinsip-Prinsip Dasar Fatwa), dengan fokus pada adab, syarat, dan tanggung jawab seorang mufti, serta metode istiftā’ (proses bertanya tentang hukum).

  • Konteks: Materi ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang definisi dan kedudukan fatwa dalam Islam. Pada bagian awal ini, ditekankan kembali bahwa fatwa bukan sekadar opini pribadi, melainkan tawqī‘ ‘anillāh — tanda tangan atas nama Allah ﷻ dalam menetapkan hukum.

  • Dalil Al-Qur’an: Disebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ sendiri memberi fatwa kepada hamba-Nya, seperti dalam firman-Nya:

    يُفْتِيكُمُ اللَّهُ
    ("Allah memberi fatwa kepadamu…") — menunjukkan kemuliaan posisi fatwa karena disandarkan langsung kepada Allah.

  • Penegasan: Kedudukan mufti dalam Islam sangat mulia karena ia mewarisi tugas para Nabi dalam menjelaskan hukum Allah kepada manusia. Akan tetapi, kedudukan ini sekaligus sangat berat karena menyangkut status halal-haram yang konsekuensinya bisa berdampak pada darah, harta, dan kehormatan manusia.


📖 Bagian 1 – Hakikat Fatwa dan Keagungannya

  1. Definisi Fatwa secara Bahasa (Lughah)

    • Al-Fatwā berarti penjelasan atau jawaban atas suatu masalah hukum.

    • Bentuk jamaknya adalah fatāwā atau futya.

  2. Definisi Fatwa secara Istilah (Iṣṭilāḥan)

    • Disebut oleh para ulama ushul fiqh sebagai:

      إظهار الفقيه للحكم الشرعي بلا إلزام
      Artinya: “Pernyataan seorang faqih tentang hukum syar’i tanpa bersifat mengikat seperti keputusan hakim.”

    • Perbedaan dengan qaḍā’: Fatwa adalah nasihat hukum tanpa paksaan pelaksanaan, sedangkan qaḍā’ adalah keputusan yang mengikat pihak-pihak yang terlibat.

REALITA TAK HITAM PUTIH: KETIKA HUKUM BERTEMU KEHIDUPAN

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Dalam idealitas hukum Islam, yang haram tetap haram. Tidak ada perdebatan dalam larangan minum khamr, berjudi, riba, dan seluruh cabang-cabangnya. Namun dalam kenyataan sosial, umat sering kali tidak hidup di dalam sistem yang murni syariah. Mereka hidup di tengah arus kapitalisme, sekularisme, dan tekanan ekonomi yang menjerat.

Maka muncullah pertanyaan yang mengguncang: "Kalau kerja di pabrik arak, halal atau haram?" "Kalau dia baru masuk Islam, bagaimana nasib hidupnya?"


🧭 PENGANTAR

Di tengah hiruk pikuk pertanyaan hukum yang melibatkan sektor-sektor haram seperti arak, judi, dan riba, sering kali muncul satu persoalan besar yang kerap disederhanakan oleh mereka yang tergesa-gesa berfatwa: "Apa hukum bekerja di tempat-tempat tersebut?"

Jawabannya memang jelas secara nash: “Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, Shahih)

Namun persoalan sebenarnya tidak berhenti pada “apakah itu haram?”. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah:
🔍 Bagaimana cara membimbing manusia keluar dari lingkaran keharaman?
🔍 Apa sikap syariat terhadap orang yang belum mampu keluar, bukan karena membangkang, tapi karena belum sanggup?

Di sinilah agama yang raḥmatan lil-‘ālamīn menunjukkan wajah sejatinya: bukan agama kaku yang menafikan kondisi manusia, tetapi agama yang punya prinsip, sekaligus keluasan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam implementasi. Sayangnya, di era modern ini kita menyaksikan fenomena memilukan: Banyak yang baru hafal satu dua dalil, sudah berani duduk di kursi fatwa. Banyak yang fasih menyebut “ini haram!”, tapi gagap ketika ditanya: “Lalu apa solusinya?”

⚠️ Mereka menempatkan hukum fiqh pada tempat taḥkīm, tapi melupakan maqāṣid, ḥāl, dan fiqh al-wāqi’.
⚠️ Mereka menyangka agama cukup ditegakkan dengan ucapan keras, padahal agama tidak dibangun hanya dari hukum, tetapi juga dari hikmah, maqāṣid, dan pengetahuan tentang manusia.
📛 Mereka tahu kaidah, tapi lupa proporsinya.
📛 Mereka cepat menyatakan haram, tapi lalai memikirkan taṭbīq (implementasi syar’i) sesuai qawā’id ushuliyyah dan kaidah maslahat-dharurat.

MERANGKAI KEAGUNGAN KHAZANAH INTELEKTUAL EMPAT MAZHAB FIQH: PERBANDINGAN METODOLOGI DAN PEMIKIRAN

Forum Kegemilangan Empat Mazhab Fikih dalam Islam, Panelis: Al-Ustaz Salman Ali (Mazhab Hanafi) - Dr. Mazlee Malik (Mazhab Maliki) - Prof. Madya Dato DR. MAZA (Mazhab Syafi'i) - Dr. Rozaimi Ramle (Mazhab Hambali) - Arsip 07/2016
 

Diskursus empat mazhab fiqh—Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali—merupakan manifestasi historis dari keberagaman manhaj istidlāl yang berkembang sejak abad kedua Hijriyah. Forum ini menawarkan suatu majlis ilmī yang mempertemukan representasi metodologis masing-masing mazhab dalam format dialogis, sehingga memungkinkan analisis komparatif terhadap usul dan furū‘ yang mereka terapkan. Dari orientasi ra’yu dan ‘urf-centrism dalam madrasah Hanafi, otoritas ‘amal ahl al-Madinah pada madrasah Maliki, sintesis nash-ra’yu dan kodifikasi usul al-fiqh oleh al-Syafi‘i, hingga komitmen tekstual dan keteguhan teologis dalam madrasah Hanbali—semuanya dipaparkan dengan kerangka epistemologis yang terstruktur.

Selain memberikan taḥqīq terhadap prinsip-prinsip metodologis, forum ini menyinggung implikasi praktisnya dalam konteks kontemporer, termasuk perdebatan seputar talfiq, distingsi antara khilāf mu‘tabar dan ghayr mu‘tabar, serta mekanisme takhayyur dalam proses istinbāṭ fatwa institusional. Dengan demikian, majlis ini tidak sekadar menjadi ruang elaborasi teori, melainkan juga laboratorium intelektual yang menguji relevansi kerangka usuliyyah klasik terhadap realitas hukum modern. Bagi para peneliti, akademisi, dan praktisi hukum Islam, mengikuti perbincangan ini hingga akhir adalah kesempatan untuk menyaksikan integrasi antara turāth dan konteks, antara disiplin ilmiah dan etika ikhtilaf, sebagaimana diidealkan dalam tradisi ushul fiqh.


Pendahuluan

  • Forum ini diadakan untuk membincangkan keempat mazhab fiqih utama dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali.

  • Panelis terdiri dari:

    1. Ustaz Salman Ali (Mazhab Hanafi)

    2. Dr. Mazlee Malik (Mazhab Maliki)

    3. Dato’ Dr. Mohd Asri Zainul Abidin (Mazhab Syafi‘i)

    4. Dr. Rozaimi Ramli (Mazhab Hanbali)

  • Moderator: Ustaz Muhammad Nazim.


1. Mazhab Hanafi – Ustaz Salman Ali

Keunikan & Sumbangan Imam Abu Hanifah

  • Fokus pada akal, logika, dan mantik dalam istinbath hukum.

  • Memiliki kaidah unik menilai hadits: konsep ‘umum balwa’ (perkara yang umum berlaku di masyarakat).

  • Tidak menolak hadits ahad, namun mengutamakannya jika selaras dengan amalan umum atau kaidah besar.

  • Mengembangkan qiyas dengan perspektif luas, mempertimbangkan konteks dan maslahat:

    • Zakat fitrah boleh dibayar dalam bentuk nilai uang, bukan hanya makanan pokok.

    • Daging hadyu boleh diagihkan di luar Mekah jika di Mekah berlebihan.

  • Pendekatan beliau banyak diapresiasi pada zaman moden kerana bersifat praktis dan solutif.


METODOLOGI IJTIHAD FIQH MUAMALAT KONTEMPORER

Oleh: Dr. Erwandi Tarmizi - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Muhammad bin Saud, Pakar Fiqh Muamalat Kontemporer

Tidak semua kasus ada di kitab para ulama terdahulu. Di sinilah ujian bagi generasi kini untuk menggali hukum dengan amanah, memadukan warisan metodologi klasik dengan kecerdasan membaca realitas zaman, agar setiap fatwa lahir dari dalil yang sahih dan konteks yang tepat.
 

📚 Pengantar

Ijtihad adalah mahkota ilmu syariah — dan hanya pantas dikenakan oleh mereka yang benar-benar menguasai medan dalil dan medan realitas. Ia bukan gelanggang untuk “siapa cepat dia dapat” atau ajang latah mengeluarkan pendapat demi sensasi. Setiap hasil ijtihad adalah vonis hukum Allah dalam bentuk praktis, dan kesalahannya bisa memukul balik umat dalam bentuk kerusakan akidah, kekacauan ekonomi, bahkan legitimasi terhadap maksiat.

Di era muamalat kontemporer, kitab klasik adalah fondasi, bukan pagar pembatas. Ulama yang amanah akan memadukan teks itu dengan analisis kontekstual yang tajam, memastikan hukum Allah diterapkan dengan tepat sasaran di tengah dinamika zaman. Sebaliknya, siapa pun yang berani berbicara hukum tanpa ilmu sedang memalsukan suara wahyu. Dan memalsukan wahyu? Itu bukan sekadar kesalahan akademik — itu pengkhianatan terhadap agama.

Maka, jika belum mampu memanggul beban ijtihad, diam adalah ibadah, belajar adalah kewajiban, dan berbicara tanpa ilmu adalah bencana.


📝 Ringkasan Faedah

1️⃣ Definisi Ijtihad & Unsurnya 📖

  • Ijtihad secara bahasa berarti mengerahkan seluruh kemampuan hingga batas maksimal.

  • Secara istilah ushul fiqh: upaya seorang mujtahid memenuhi syarat, untuk menggali hukum syar’i dari sumbernya (Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, dan dalil lainnya) terhadap suatu kasus perbuatan.

  • Unsur ijtihad:

    1. Pelaku → Mujtahid.

    2. Sumber hukum → Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas.

    3. Kasus → di sini dibatasi pada muamalat kontemporer.


2️⃣ Kedaulatan Hukum Hanya Milik Allah ⚖️

  • Menetapkan halal, haram, wajib, atau makruh hanya hak Allah ﷻ.

  • Siapa yang menetapkan hukum tanpa berlandaskan wahyu berpotensi terjerumus pada syirik besar.

  • Ijtihad adalah proses menggali hukum agar keputusan tetap sesuai ketentuan Allah, bukan hawa nafsu.


KRITERIA, PRINSIP, DAN SYARAT LEGALITAS IJTIHAD DALAM MUAMALAT KONTEMPORER MENURUT PERSPEKTIF FIKIH

Oleh: Dr. Erwandi Tarmizi - Fiqh Wa Ushuluhu Universiti Muhammad bin Saud, Pakar Fiqh Muamalat Kontemporer

Ijtihad dalam muamalat modern bukan sekadar kemampuan menjawab pertanyaan, tetapi amanah ilmiah yang disandarkan pada syarat ketat ulama. Salah langkah bukan hanya menyalahi metodologi, tapi bisa merusak tatanan hukum, menyesatkan umat, bahkan melegalkan yang haram.



📖 Pengantar

Ijtihad dalam bidang muamalat kontemporer adalah proses menggali hukum syariat dari sumbernya untuk menjawab permasalahan baru yang tidak ditemukan secara eksplisit pada masa terdahulu. Namun, tidak semua orang berhak melakukan ijtihad, karena ia memerlukan kapasitas keilmuan, metodologi, dan tanggung jawab moral yang tinggi. Kesalahan dalam ijtihad, apalagi tanpa dasar ilmu yang memadai, dapat berakibat fatal — baik secara hukum maupun sosial.

Materi ini memaparkan syarat-syarat orang yang boleh berijtihad, bahaya fatwa tanpa ilmu, perbedaan antara nasihat dan fatwa, serta kondisi “darurat” di mana standar ijtihad dapat sedikit dilonggarkan. Disertakan juga contoh-contoh kesalahan metodologis dalam muamalat modern, seperti dalam kasus bank konvensional, pinjaman online, hingga jual beli emas, yang menunjukkan pentingnya pemahaman mendalam sebelum mengeluarkan fatwa.


📜 Ringkasan Faedah Lengkap

1️⃣ Hadis Peringatan Bahaya Fatwa Tanpa Ilmu

  • Kisah sahabat yang terluka kepala lalu junub, bertanya apakah boleh tayammum. Temannya memerintahkan mandi. Ia mandi dan meninggal.

  • Nabi ﷺ bersabda: "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu?" (HR. Abu Dawud, hasan menurut Al-Albani).

  • Pelajaran: memberi fatwa tanpa memenuhi syarat ijtihad adalah terlarang dan berbahaya.


2️⃣ Fatwa vs. Nasihat — Jangan Campur Aduk

  • Fatwa: penetapan hukum Allah untuk kasus spesifik, butuh dasar ilmiah dan keahlian.

  • Nasihat: ajakan atau anjuran umum dengan niat kebaikan, tanpa menetapkan hukum syariat.

  • Memberi saran sembrono pada orang yang sedang labil (misalnya soal rumah tangga atau pekerjaan) dapat menghancurkan hubungan atau merusak hak orang lain.


KEWAJIBAN MEMAHAMI REALITI SEBELUM BERFATWA

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Memahami realiti sebelum berfatwa berarti menyelami latar belakang penanya, situasi masyarakat, serta perubahan zaman. Hal-hal yang tetap dalam agama harus dijaga, namun perkara yang bersifat fleksibel perlu diatur dengan bijak agar maslahat tetap terpelihara. Tanpa pemahaman konteks, fatwa berisiko menjadi kaku, tidak relevan, bahkan menimbulkan kesulitan bagi umat.

Sejarah mencatat, Rasulullah ﷺ tidak selalu memberi jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama. Pemuda yang bertanya tentang mencium istri saat puasa mendapat larangan, sementara orang tua mendapat izin. Bukan karena syariatnya berbeda, tapi karena manusianya berbeda. 

Ulama ushul menegaskan bahwa memahami nas syar’i saja tidak cukup—seorang pemberi fatwa wajib memahami medan, zaman, adat, bahkan psikologi orang yang bertanya. Tanpa itu, hukum yang keluar bisa salah sasaran, menutup pintu maslahat, bahkan menimbulkan mudarat.

Fatwa bukan teks beku. Ia adalah panduan hidup yang harus lahir dari pertemuan antara dalil yang kokoh dan realitas yang utuh. Sebab, syariat tidak turun di langit kosong; ia hadir di bumi nyata yang penuh ragam manusia, adat, dan keadaan.

Maka, jika kita ingin menjaga kemuliaan fatwa, kita harus menjaganya dari dua bahaya:

  1. Bahaya kejumudan — menolak semua bentuk penyesuaian, walau kondisi menuntutnya.

  2. Bahaya sembarang bicara — memberi hukum tanpa memahami dalil dan realitas.

Keduanya sama-sama berpotensi menyesatkan umat.


📚 Ringkasan Faedah Lengkap

1️⃣ Pembukaan – Definisi dan Ruang Lingkup Fatwa

  • Fatwa adalah pandangan hukum syar’i terhadap persoalan yang tidak jelas hukumnya bagi masyarakat.

  • Secara klasik, fatwa boleh dikeluarkan oleh siapa saja yang ahli dalam ilmu syariat, tetapi kini ada institusi resmi negara yang menanganinya.

  • Penting untuk membedakan antara fatwa pribadi dari seorang alim dan fatwa rasmi yang dikeluarkan oleh otoritas.


KETIKA FATWA TIDAK SAMA

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Perbedaan pandangan dalam agama sering dianggap sebagai sumber pertentangan, padahal tidak selalu demikian. Dalam sejarah fikih, para ulama telah lama berbeda pendapat dalam hal-hal yang masuk ruang ijtihad, dan justru di situlah keluasan rahmat syariat terlihat.

Sebagai penuntut ilmu, penting untuk membaca berbagai pandangan dari sumber berotoritas internasional, agar wawasan luas dan hati lapang. Perbedaan yang disikapi dengan ilmu akan mempererat, sementara perbedaan yang disikapi dengan fanatisme justru memecah-belah.

📚 Ringkasan Faedah Lengkap

1️⃣ Memahami Makna Konflik

  • Tidak semua perbedaan adalah konflik.

  • Konflik bisa berarti bertarung dan bermusuhan, tetapi bisa juga sekadar berbeda cara atau pandangan.

  • Perbedaan adalah bagian alami kehidupan, termasuk dalam hal hukum dan ibadah, selama masih dalam kerangka yang diizinkan syariat.